Rencana PTM Tetap Jalan, Negara Lepas Tangan
Oleh: Zulia Adi K, SE
(Pemerhati masalah pendidikan)
Lensa Media News – Sungguh memprihatinkan kondisi pendidikan di tengah pandemi seperti ini. Setelah beberapa waktu lalu Pembelajaran Tatap Muka (PTM) nekad digelar karena memang mendapat persetujuan dari berbagai pihak, meskipun tak urung juga menuai pro kontra karena kondisi saat itu memang dinilai belum kondusif dimana virus Corona-19 masih mengancam.
Tetapi dengan dalih pelaksanaan PTM dilakukan prokes ketat dan juga perizinan yang tidak mudah karena memang harus melalui berbagai tahapan, penguasa negeri ini tetap mengizinkan untuk pelaksanaan PTM di berbagai daerah kecuali di daerah yang masih terkatagori zona merah atau level 4. Akan tetapi kini kekhawatiran berbagai kalangan akhirnya memang benar adanya, baru beberapa pertemuan pelaksanaan, klaster sekolah terjadi di berbagai daerah.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, memastikan bahwa pelaksanaan PTM tidak akan dihentikan maupun diundur, meskipun ada laporan sebanyak 1.296 sekolah yang melaporkan klaster COVID-19. Data tersebut diperoleh Kemendikbud ristek dalam pantauannya selama diberlakukannya PTM terbatas. Berdasarkan catatan Kemendikbud ristek, per 20 September 2021 di 1.296 sekolah yang melaporkan klaster tingkat SD sebanyak 581 sekolah, SMP 241 sekolah dan SMA 107 sekolah.
“Itu terus kita monitor, itu temuannya. Bukan berarti PTM nya akan diundur, masih harus berjalan, terbuka. Tapi, untuk sekolahnya masing-masing yang ada kasus klaster, ya harus ditutup segera, memang seperti itu,” Kata Nadiem saat ditemui paska Raker di Komisi X DPR RI.
Menurut Nadiem, adanya klaster bukan berarti pelaksanaan PTM secara serentak dihentikan. Untuk sekolah yang ditemukan kasus, memang sesuai instruksi harus ditutup. Namun, Nadiem menegaskan untuk sekolah lain yang tidak ada temuan, PTM akan terus berjalan. “PTM terbatas masih dilanjutkan. Yang harus dilakukan adalah protokol kesehatan ini harus dikuatkan, dan sekolah-sekolah dimana ada situasi seperti itu harus ditutup segera sampai aman,” tegas Nadiem.
Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri mengaku, P2G sudah kerap kali meminta pemerintah untuk menunda PTM. “Selama ini P2G konsisten menyuarakan agar pemerintah tidak terburu-buru melakukan pembukaan sekolah atau PTM,” kata Iman (Tirto, 23/9/2021).
Sungguh kebijakan yang aneh, sudah nyata ancaman nyawa generasi bangsa ini taruhannya tetapi PTM masih berlanjut meski hanya untuk sekolah yang tidak ada klaster COVID-19. Bukankah banyaknya klaster sekolah seharusnya menjadi evaluasi bagaimana membuat mitigasi sekolah yang aman di tengah pandemi. Solusi peningkatan prokes yang dianjurkan pun tidak jelas gambarannya seperti apa. Terus bagaimana kelanjutan sekolah yang ada kasus klaster COVID-19 hanya dihimbau untuk tutup sementara tanpa ada solusi bagaimana agar klaster itu tidak muncul lagi.
Sebenarnya, bila negara mau serius menyelesaikan problem pembelajaran di masa pandemi, yang tidak cukup hanya dengan keputusan PTM dan menghimbau untuk meningkatkan prokes tetapi negara juga harus benar-benar hadir memastikan terlaksanakannya prokes dan PTM secara optimal. Demikian pula dengan penetapan standar sekolah layak PTM, standar prokes, SDM satgas covid dan pengajar saat pandemi juga tak ada keseriusan, hanya semakin menunjukkan lepas tangannya negara dari posisi penanggung jawab menjadi sekedar regulator saja.
Penguasa saat ini sebenarnya masih bisa mengupayakan pembiayaan secara maksimal untuk pendidikan di tengah pandemi ini agar segala hal yang dibutuhkan bisa dipenuhi sehingga klaster sekolah tidak muncul lagi,seperti penyediaan sarana dan prasarana bagi sekolah dan memasifkan vaksin bagi peserta didik dengan mengalihkan anggaran pendanaan dari proyek-proyek yang tidak terlalu mendesak seperti anggaran untuk pengalihan ibu kota dan proyek moderasi beragama.
Tetapi sekali lagi negeri kita ini mengadopsi sistem kapitalisme yang tidak memperhatikan begitu pentingnya pendidikan untuk generasi penerus bangsa ini bahkan lepas tangan. Sehingga wajar penguasa negeri ini hanya disebut sebagai regulator apalagi untuk pendidikan di masa pandemi ini.Dan ini memang berbeda dengan penguasa Islam.
Islam menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan pokok dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara sehingga negara akan berupaya semaksimal mungkin membiayai pendidikan yang bersumber dari Baitul Mal. Ketika anggaran dari Baitul mal menipis atau kosong maka negara akan meminta seluruh kaum Muslim untuk memberikan dana, jika masih belum cukup maka diambil dari kalangan orang kaya saja untuk untuk turut membiayai pendidikan. Jadi masalah pendidikan memang tidak akan pernah tuntas ketika memang negeri ini belum mengadopsi pada aturan Islam.
Wallahu’Alam bish showab.
[ry/LM]