Ketika Garam Harus Impor (Lagi)

Oleh : Ummu Zhafran

(Pegiat Literasi) 

 

Lensa Media News – Aneh tapi nyata. Suatu negeri berjuluk negeri bahari dengan luas lautan sejauh mata memandang kembali bakal impor garam. Amboi, geli nian terdengar di telinga. Sayangnya hal itu fakta. Baru-baru ini guna memenuhi kebutuhan garam nasional mencapai 4,6 juta ton pada 2021, pemerintah berencana membeli dari luar. Dengan alokasi yang ditetapkan sebesar 3,07 juta ton garam industri (cnnindonesia, 24/9/2021) , Fantastis!

Memang, kebijakan impor bukan lagi hal tabu di negeri ini. Nyaris semua bahan pangan sudah pernah kebagian nomor antre. Tak hanya garam, tapi beras, kedelai, cabai, bawang dan masih banyak lagi. Padahal masih lekat di ingatan bagaimana kesuburan Ibu Pertiwi digambarkan lewat sebuah lagu milik Koes Plus “Kata orang tanah kita tanah surga, tongkat, kayu dan batu jadi tanaman”.

Wajar bila publik bertanya-tanya, bila tanah subur dan kaya mengapa impor? Bahkan tak jarang pembelian dari asing justru dilakukan saat panen raya menjelang. Akibatnya harga anjlok di pasaran, petani pun menjerit karena keuntungan yang diperoleh tak sebanding dengan biaya pupuk dan pengolahan tanah. Tak sedikit di antara mereka lalu melakukan aksi membuang hasil panennya ke jalan-jalan. Memilukan.

Beberapa waktu lalu kala menyikapi rencana impor beras jelang panen raya, analis kebijakan publik dari Sudut Demokrasi Research & Analysis (SUDRA) ,Afditya Iman Fahlevi, menilai kebijakan tersebut sungguh tidak masuk akal. Menurutnya, alih-alih impor justru pemerintah harusnya membantu para petani untuk memperluas kapasitas penyerapan produksi padinya (republika.co.id, 19/3/2021)

Dalam konteks garam kini, hal yang sama mestinya dapat diberlakukan. Ketimbang mengimpor garam, mengapa tidak memfasilitasi agar petani garam dapat menggenjot produksi sehingga bisa memenuhi kebutuhan nasional. Inilah politik ekonomi yang lazim diharapkan dari sebuah negara.

Pasalnya siapa pun tahu, pangan merupakan hal krusial. Maka mewujudkan kemandirian dalam hal pangan adalah urgen dan harus diusahakan secara maksimal. Bergantung pada suplai pihak luar hanya akan membuka pintu pada segala bentuk intervensi dan penjajahan. Bagaimana tidak, ketika harga komoditi baru panen kerap terjun bebas akibat serbuan impor lambat laun petani akan kehilangan gairah berproduksi. Bila hal itu terjadi, amat mudah negara-negara pengekspor mengintervensi dengan menghentikan laju ekspornya. Risikonya, pasar dalam negeri bisa lumpuh dan penjajahan siap menanti di depan mata.

Menyimak realitasnya, tak terbantahkan lagi ideologi kapitalisme yang dipraktikkan selama ini terbukti gagal mewujudkan pangan yang berdaulat. Apalagi kebijakan impor yang senafas dengan amanat UU Cipta Kerja yang dinilai banyak kalangan sarat keberpihakan pada oligarki, asing maupun aseng. Penulis jadi teringat isi surat yang pernah ditulis oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra. kepada Abu Musa al-Asy’ari yang termuat dalam kitab AlKharaj karya Syaikh Abu Yusuf,

Amma ba’du, sesungguhnya para pengurus (urusan umat) yang paling bahagia di sisi Allah adalah orang yang membahagiakan rakyat yang diurusnya. Sebaliknya, para pengurus urusan umat yang paling sengsara adalah orang yang paling menyusahkan rakyat yang diurusnya.” Ya, kapitalisme dengan prinsip no free lunch-nya sering kali mengabaikan kepentingan rakyat, termasuk petani di dalamnya.

Tidak dengan Islam! Islam mengatur politik ekonominya berbasis pemenuhan kebutuhan setiap individu rakyat. Jauh dari asumsi dan angka-angka pertumbuhan semu. Politik ekonomi Islam menjalankan strateginya, memanifestasikan kedaulatan pangan harga mutlak meski harus ditempuh dengan susah payah. Tak semudah seperti langsung membeli dari pihak asing.

Ada pun langkah-langkah yang bisa dieksekusi antara lain, meningkatkan pemanfaatan lahan produktif, intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian dan bahan pangan serta distribusi yang memadai. Intensifikasi oleh negara dilakukan dengan mengupayakan penyebarluasan dan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani; membantu pengadaan mesin-mesin produksi, benih unggul, pupuk, ladang garam serta sarana produksi lainnya.

Dengan sendirinya negara dapat secara mandiri melakukan produktivitas pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Bukannya malah meliberalisasi sektor pertanian untuk kepentingan industri asing. Ekspor pangan pun tak bakal dilakukan sampai kebutuhan pokok setiap individu rakyat terpenuhi dengan baik.

Begitulah Islam memberi amanah pada negara, dalam hal ini khalifah untuk melayani dan mengurusi urusan umat. Khalifah Umar bin Khaththab bahkan pernah membagikan harta dari Baitul mal (kas negara) kepada para petani di Irak, untuk membantu mereka menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka. Indahnya hidup dalam naungan Islam yang syariahnya diterapkan secara kaffah. Bukan hanya bisa meraih kemaslahatan hidup di dunia dengan diliputi kesejahteraan namun di saat bersamaan juga menggapai keridaan Allah dan keselamatan di akhirat.

Wallaahu a’lam.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis