Antara Keputusasaan dan Secercah Harapan Guru Honorer
Oleh : Elly Waluyo
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Lensa Media News – Secercah harapan terbersit pada wajah-wajah guru honorer ketika ada peluang merubah kehidupan menjadi lebih baik melalui jalur PPPK (Pegawai Pemerintahan dengan Perjanjian Kerja). Besarnya gaji dan tunjangan yang sama dengan PNS terbayang di depan mata.
“PPPK yang diangkat untuk melaksanakan tugas jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diberikan tunjangan sesuai dengan tunjangan Pegawai Negeri Sipil pada Instansi Pemerintah tempat PPPK bekerja,” demikian bunyi pasal dalam PP nomor 98 Tahun 2020 tentang Gaji dan Tunjangan PPPK pasal 4 (1) selain itu para PPPK juga mendapatkan tunjangan keluarga, pangan, jabatan struktural, jabatan fungsional dan lainnya berdasarkan Keputusan Menpan-RB Nomor 1127 Tahun 2021. Besaran gaji yang diperoleh oleh PPPK dari Golongan I hingga golongan XVII adalah Rp 1.794.900 sampai Rp 6.786.500. (www.detik.com,2021).
Namun, secercah harapan ini menjadi keputusasaan, manakala guru dengan pengabdian puluhan tahun yang tak lagi muda harus bersaing dengan para peserta yang masih muda dengan masa kerja sedikit. Hal ini menuai kritikan berbagai pihak yang menganggap bahwa masa pengabdian seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam proses pengangkatan guru honorer sehingga tak perlu mengikuti seleksi bagi guru yang memiliki masa kerja yang cukup lama.
“Seharusnya dilakukan pengangkatan secara langsung bukan melalui proses seleksi tapi di lihat masa pengabdiannya para guru itu” demikian kritikan Irwan Fecho selaku Wasekjen DPP Partai Demokrat terhadap proses pengangkatan Guru Honorer (sindonews.com, 2021). Kesuraman demi kesuraman diperlihatkan oleh sistem kapitalis dalam melayani dan menghargai rakyatnya. Pengabdian puluhan tahun mendidik anak-anak bangsa bahkan di pelosok-pelosok daerah yang memiliki keterbatasan akses dan fasilitas, tak mampu membuka mata hati nurani para regulator untuk memberikan kemudahan menjadi pegawai pemerintah. Keinginan mengubah kehidupan yang jauh dari kata sejahtera para pendidik honorer yang dilakoni bertahun-tahun harus ditentukan melalui proses seleksi PPPK.
Pendidikan bukan prioritas dalam sistem kapitalis sehingga kesejahteraan para pendidik pun tak kan pernah terpenuhi meskipun memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama dengan ASN, namun kesejahteraannya sangat jauh berbeda. Seolah menganaktirikan guru honorer. Gajinya tak seberapa dan nasibnya menggantung tak jelas, banyak diantara mereka yang mengambil pekerjaan sampingan atau bekerja di lembaga pendidikan yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Berbeda halnya dengan sistem Islam yang memprioritaskan pendidikan sebagai kebutuhan pokok dan wajib disediakan oleh negara bagi warga negaranya. Stabilitas ekonomi yang kuat membuat negara Khilafah mampu menyediakan fasilitas pendidikan yang layak dan merata dari kota hingga ke daerah-daerah pelosok. Menyiapkan perangkat kurikulum berbasis akidah Islam dan menyediakan tenaga pendidik yang profesional dengan gaji yang layak bahkan berlebih.
Pendidikan menempati posisi yang penting dalam mencetak generasi yang unggul dimasa depan, maka dari itu Khilafah memberikan kemudahan akses dan gratis bagi warga negaranya. Posisi Guru yang mulia dalam sistem Islam menempatkan semua guru sebagai aparatur negara tanpa perbedaan.
Gaji yang diterima oleh guru dalam sistem Khilafah berasal dari Baitul mal pada pos kharaj, fai dan milkiyyah amah (kepemilikan umum) yang diperbolehkan untuk membiayai sektor pendidikan sehingga guru dapat berkonsentrasi mencetak generasi unggul yang dibutuhkan negara. Mencetak pelopor peradaban yang agung. Kesejahteraan dan keberkahan dalam pendidikan tak akan dapat diperoleh tanpa Sistem Islam.
Wallahu a’ lam bish showab.
[ry/LM]