Tepian Hati si Kecil Santi (Bagian 1)

Oleh : Lestari Umar

 

Maisah mengambil tutup panci yang terjatuh. Letupan kuah sup yang mendidih membuat lempengan itu bergeser dari posisinya.

Terlalu penuh apa ya?” ia bergumam sendiri.

Ia membungkuk sebisanya, mengambilnya perlahan dan membasuh dengan air dalam bak cuci piring.

Pelan-pelan Ia menimba kuah sup dalam panci, mencoba mengurangi airnya agar tak meletup lagi. Ia masih saja lihai memasak dan menyiapkan makanan sendiri. Tak ada seorang pun yang membantu atau mengurus Ia dan suaminya diusia renta. Malahan Ia masih dititipi Santi sang cucu satu-satunya yang masih duduk di sekolah dasar karena sang ibu pergi merantau ke luar kota, dan ayah Santi sudah lama meninggal dunia.

Tangan Maisah beralih memotong ikan untuk digoreng sebagai lauk, sementara telinganya menyimak ulasan berita yang disiarkan di televisi nasional dini hari itu. Maisah senang bisa mendapat informasi berita yang sedang terjadi, Walau berita-berita yang ditayangkan banyak yang membuat mengelus dada atau bahkan miris seperti berita kali ini.

Seorang Mentri kembali ditangkap oleh komisi pemberantasan korupsi. Kali ini dana sosial yang dikuasai.

Uang sudah banyak, untuk apa lagi pak Mentri korupsi? Ia bertanya dalam hati, sementara tangannya sibuk membumbui potongan-potongan ikan. Maisah tak habis pikir, di situasi wabah seperti inipun para koruptor tetap saja serakah menguasai hak rakyat kecil.

Pak Mentri ini apa masih kurang hartanya? Bagaimana kalau hidup susah sepertiku ini, apa sanggup? Batinnya.

Jarum jam dinding berhenti di angka tiga dini hari saat masakan Maisah akhirnya siap dihidangkan untuk santap sahur. Ia bersyukur masih ada yang bisa dimakan untuk sahur hari ini.

Pak, bangun sahur!” Maisah membangunkan Pak Darso suaminya yang masih terlelap tidur.

Nggih, Bu,” jawab pak Darso singkat.

Lelaki paruh baya itu bangkit menuju kamar mandi untuk mencuci mukanya. Maisah lalu beralih ke kamar Santi untuk membangunkannya juga.

Santi anak yang baik dan pengertian. Ia mudah diatur dan biasa hidup prihatin bersama kakek dan neneknya. Tapi karena masih anak-anak, tak banyak yang bisa Santi lakukan untuk membantu mereka.

Iya, Nek,” jawabnya saat dibangunkan.

Nenek masak apa?” si kecil Santi bertanya kepada Maisah.

Masak sup kesukaan kamu. Ada ikan mujair goreng juga yang sore tadi nenek beli. Ayo cepat bangun, cuci muka dulu,” jawab Maisah.

Santi langsung menuruti perintah neneknya. Walau masih sedikit mengantuk, ia berusaha bangun, mencuci mukanya dan segera makan sahur bersama nenek dan kakeknya.

Alhamdulillah. Sini, Nak!” ajak Pak Darso pada Santi sambil menepuk-nepuk kursi kayu di sebelah tempat duduknya.

Santi menghampiri kakeknya dengan perlahan, tangan kanannya menggaruk rambutnya yang sebenarnya tidak gatal.

Masih ngantuk, ya?” tanya Pak Darso

Iya,” jawab Santi singkat.

Maklum ini hari pertama. Besok-besok juga sudah terbiasa bangun sahurnya,” Maisah menimpali.

Lebaran nanti Ibu pulang tidak nek?” tanya Santi kepada neneknya yang sedang menyisihkan kepala ikan. Tidak kali ini.

Pulang tidak, Nek?” tanyanya lagi.

Nenek tidak tahu. Mudah-mudahan ya, bisa pulang. Nanti kamu tanya kalau Ibumu telpon ya.”

Tapi lebaran lalu ibu tidak pulang.”

Iya, mudah-mudahan tahun ini bisa pulang ya nak.” 

Maisah mencoba menghibur Santi yang terlihat kurang bersemangat menyantap makanannya.

Ini kan sudah masuk bulan puasa. Nanti kamu berdoa yang banyak. Doakan Ibu, doakan nenek, kakek, sama ayah juga. Santi kan anak baik,” lanjutnya.

Santi hanya mengangguk sambil menyuap sedikit nasi dan potongan ikan goreng.

Nah. Ayo makan yang banyak. Biar kuat puasanya.” Pak Darso ikut menyemangati cucunya itu.

Ia juga rindu dengan Halimah anaknya. Meski sempat bersikeras tak mengizinkan Halimah pergi jauh, namun iming-iming pendapatan yang besar membuat Halimah tetap pada pendiriannya. Kini, ingin rasanya ia meminta Halimah berhenti bekerja saja dan kembali ke kampung halaman meski hanya hidup dari bertani.

Angannya terus melayang memikirkan anaknya yang harus tinggal jauh demi mengais rezeki itu. Maisah ingin sekali Halimah berada di dekatnya, di dekat anaknya dan berkumpul bersama di rumah ini, namun karena keterbatasan ekonomi, semua itu nampaknya masih belum bisa untuk diwujudkan.

Ada apa Bu?” tanya pak Darso.

Ndak ada apa-apa pak, aku juga kangen sama Limah,” jawabnya berbisik.

Ia tak ingin menambah kesedihan sang cucu yang ada di sebelahnya.

Serahkan saja sama yang maha kuasa, Bu.”

Iya, Pak.”

Sekuat tenaga Maisah menyembunyikan kesedihan hatinya dalam-dalam. Ia tak mau cucu kesayangannya ikut larut dalam kesedihan, karena memang sebenarnya gadis kecil itulah yang paling merasakan sesaknya menahan rindu bertemu ibunya tercinta dari hari ke hari.

***

Pagi hari Ini matahari hanya mengintip dari balik awan kelabu. Suasana mendung semendung hati Santi yang hanyut dalam kerinduan pada ibundanya.

Santi berkumpul bersama teman-temannya selepas salat Subuh tadi. Mereka bermain bersama di halaman rumah. Sesekali mereka terlihat tertawa dan asyik dengan aneka permainan yang ada.

Kita main ular tangga, yuk! Ini aku bawa, kemarin mamaku belikan,” ujar salah satu teman Santi yang bernama Maya.

Ayo.” Seru Santi dan teman-temannya serempak.

Tapi boneka-bonekanya dirapikan dulu, nanti mamaku marah,” Ajak Maya.

Nanti saja, kan kita belum selesai main,” Nina menimpali.

Ih Nina, ayo rapikan dulu.”

Iya iya. Ayo aku bantu,” ucap Nina kemudian.

Nah , gitu dong,” seru Maya kepada teman-temannya.

Dengan kompak mereka saling membantu memasukkan mainan-mainan yang berserakan ke dalam karton.

Santi, bonekamu sudah putus tangannya. Dibuang saja ya?” tanya Nina pada Santi.

Jangan Nina, nanti aku tidak punya lagi,” jawabnya.

Nanti kamu minta belikan yang baru saja sama ibumu. Sebentar lagi kan lebaran.

Santi hanya terdiam mendengar perkataan teman-temannya. Ia ragu untuk menjawabnya.

Aduh, aku haus sekali,” ucap Maya tiba-tiba.

Lho, kan kita sedang puasa. Kamu lupa ya Maya?” tanya Nina.

Maya terkesiap dan tersentak.

Astagfirullahalazim. Aku lupa. Hahaha …” Jawabnya sambil tertawa.

Lupa atau lupa?” Nina kembali menggoda Maya.

Benar lupa aku. Ah sudahlah kalau tidak percaya. Hemmm, mamaku masak apa kira-kira untuk buka nanti ya?

Kalau mamaku tadi masak ayam goreng kesukaanku. Hemm, jadi tidak sabar rasanya.” 

Nina menutup kedua matanya sambil membayangkan ayam goreng buatan mamanya.

Santi … sini, Nak!” suara Maisah terdengar memanggil cucunya itu dari pintu rumahnya.

Tak seperti biasanya, kali ini Santi tak langsung menghampiri neneknya.

Santi, ayo pulang, sudah mau hujan,” Maisah mengulangi panggilannya.

Santi menghampiri neneknya dengan tak bersemangat.

Sini duduk istirahat. Sudah dulu mainnya. Nenek kuncir rambutnya, ya,” seru Maisah.

Santi hanya mengangguk dan Maisah mulai menyisir helai demi helai rambut cucunya itu.

Nanti buka puasa, nenek mau masak kolak. Kamu mau kolak apa, Nak?”

Kolak pisang enak, Nek, Santi suka. Tambah ubi juga enak,” jawab Santi

Lauknya nenek cuma beli telur tadi. Mau di masak apa?”

Mata sapi saja, Nek. Eh, di bikin bulat saja, Nek,” Santi menjawab pertanyaan dari neneknya dengan antusias.

Tapi, Nek, lebih enak kalau makan sama ibu.” Wajah Santi kembali murung.

Kok bicara itu lagi. Kan sudah nenek bilang doakan ibu saja.”

Santi kangen ibu.

Santi membalikkan badan ke arah neneknya. Gadis kecil itu tertunduk lesu.

Nenek juga kangen sama ibu. Nanti kalau ibu tidak pulang, kita yang ke tempat ibu ya.” Maisah mencoba menghibur Santi.

Benar ya nek? Kapan?” tanyanya.

InsyaAllah. Mudah-mudahan kakek dan nenek sehat, jadi kita bisa pergi sama-sama.”

Iya, Nek.” Santi nampak senang mendengar ajakan Maisah. Tergambar senyum bahagia dari sudut matanya.

Assalamualaikum.” Suara pak Darso terdengar mengucap salam.

Waalaikumslam.” Jawab Santi dan Maisah berbarengan. Santi langsung mencium tangan kakeknya.

Kakek bawa pepaya dan pisang dari kebun ini. Yang bagus di jual, sisanya nanti untuk dirumah.”

Santi mengambil dua buah kantong besar yang kakeknya sodorkan. Walaupun kantong itu terlihat lebih besar dari badannya, namun dengan sekuat tenaga ia mencoba membawanya menuju dapur.

Wah. Semangat sekali kamu, Nak, hati-hati,” seru pak Darso.

Semangat lah kakek, tadi nenek bilang mau ajak aku bertemu ibu,” jawab Santi sambil berjalan masuk kedalam rumah.

Maksudnya apa? saya tidak mengerti.” Pak Darso nampak kebingungan.

Tadi Santi nampak murung pak, saya mencoba menghibur. Saya bilang nanti mau ajak dia bertemu ibunya.” Maisah menjelaskan.

Apa nenek yakin?” Pak Darso kembali bertanya pada istrinya itu.

Tidak tahu pak. Saya kasihan saja lihat dia.

Jangan mengecewakan Santi lho, Bu. Memangnya tidak ada larangan berpergian saat lebaran nanti?” tanyanya lagi.

Tidak tahu juga pak. Bismillah saja, mudah-mudahan ada jalan,” Ucap Maisah penuh keyakinan.

Bersambung

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis