Tepian Hati si Kecil Santi (Bagian 2)

Oleh : Lestari Umar

 

Azan Zuhur berkumandang. Pak Darso bersiap salat di rumahnya. Masjid di lingkungan tempat tinggalnya masih ditutup sementara karena baru saja ada satu orang warga yang meninggal dunia akibat terinfeksi virus corona, dan mulai hari ini warga dilarang mengadakan salat berjamaah seperti biasanya.

Ada rasa getir yang menjalar dalam dirinya. Kecintaannya terhadap Sang Pencipta membuat hatinya sedih tatkala tidak dapat lagi bersujud di rumah-Nya. Tapi tak ada pilihan, karena ini sudah menjadi peraturan, maka ia wajib mengikuti dan melaksanakan.

Selepas salat ia menata buah-buahan hasil kebunnya hari ini untuk dijual esok hari. Lelaki renta itu memang masih tetap berjuang menjajakan buah di tengah-tengah wabah yang terus menghantui.

Suasana kampung yang menjadi semakin sepi saat pandemi ini, sangat mempengaruhi pendapatannya. Sering kali pula ia pulang dengan tangan hampa. Meski demikian, hal ini tak pernah sekalipun menyurutkan semangatnya dalam mencari nafkah untuk keluarganya.

Satu persatu buah-buah tersebut diletakkan dengan rapi di gerobak sederhana yang biasa ia bawa berkeliling untuk menjajakkan buah. Buah-buah ‘kampung’ hasil kebunnya yang mungkin jauh kualitasnya jika dibandingkan dengan buah-buahan yang ada di pasar-pasar modern itu adalah satu-satunya jalan ikhtiar yang masih bisa Ia lakukan untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari.

Kakek … ” Suara santi menghentikan kegiatannya.

Iya, ada apa?

Santi mau telepon ibu.”

Sebentar ya, Nak,” ucap Pak Darso padanya.

Hmm. Yasudah deh, Santi bantu ya, Kek.”

Iya. Sini, kakek ambilkan dulu.” 

Pak darso beranjak dari tempat duduknya menuju kamar untuk mengambil gawai miliknya. Perlahan Ia telusuri nomer kontak yang ada. Ia kembali menghampiri sang cucu saat jaringan telepon sudah tersambung.

Halo. Assalamualaikum

waalaikumsalam. Ibu … ” jawab Santi pada ibunya dalam sambungan tersebut.

Ada apa nak? Santi lagi apa?

Lagi bantu kakek pilih-pilih buah, Bu.”

Santi senang bisa mengobrol dengan Ibunya. Tak lupa juga Ia meminta sang ibu untuk pulang saat lebaran nanti.

Nanti belikan boneka ya, Bu,” pintanya lagi.

Insyaallah ya, Nak. O iya, nenek kemana?”

Nenek di dapur sedang buat pesanan kue. Ini santi bawakan ke nenek.” 

Santi berlari ke arah dapur dan langsung memberikan gawai ke dalam genggaman neneknya. Maisah sudah paham siapa yang ada dalam panggilan tersebut.

Cukup lama Maisah berbincang dengan putrinya yang berada jauh darinya. Halimah mengabarkan keadaannya yang baik-baik saja, meskipun beberapa rekan kerjanya sudah banyak yang terpapar virus corona. Ia hanya minta didoakan oleh ibu dan bapaknya, dan memohon maaf karena masih saja merepotkan dengan menitipkan santi pada mereka hingga saat ini.

InsyaAllah kami selalu doakan, Nak. Alhamdulillah kita di sini juga baik-baik saja. Kamu tidak perlu khawatir.” 

Maisah mencoba memaklumi keadaan putrinya itu. Ia paham betul perasaan seorang ibu yang harus terpisah jauh dari putri tercintanya. Ia yakin Halimah pun sebenarnya tak kuasa berada jauh dari Santi.

Maisah meletakkan gawai usai percakapan dalam telepon terputus. Ia kembali melanjutkan kegiatan memasaknya.

Sudah teleponnya, Bu?” tanya pak Darso pada istrinya saat menghampirinya di dapur.

Sudah. Limah bilang temannya banyak yang terpapar virus, Pak. Pabrik tempatnya bekerja juga diliburkan untuk sementara katanya.

Innalilahi. Trus keadaan Limah bagaimana, Bu?”

Alhamdulillah dia baik-baik saja. Tapi kabarnya akan ada kemungkinan pengurangan karyawan besar-besaran.”

Ya Allah.

Bagaimana ini ya, Pak? kalau sampai Limah kena PHK,” ucap Maisah gusar.

Pak Darso terdiam. Perlahan ia menyandarkan punggung rentanya pada dipan usang di dapur itu. Ia melepaskan peci yang ada di kepalanya kemudian mengibas-ngibaskan di dadanya. Semakin beratlah beban yang ditanggungnya jika memang hal itu terjadi.

***

Hari berganti, Ramadan tinggal di penghujung waktu. Menjelang maghrib Santi sudah siap di depan televisi untuk menunggu azan Maghrib. Pak Darso menemani sambil mengotak-atik jam tangan miliknya. Ia memutar bagian pengatur putaran jarumnya secara perlahan kemudian menekannya dengan pelan.

Masih belum bisa, pak?” tanya Maisah.

Belum, Bu. Apa baterainya yang sudah mati, ya?” Pak Darso bergumam.

Dibelikan saja baterainya kalau begitu, Pak.”

Uang dari mana, Bu? Ibu ini bagaimana.” Pak Darso tak lagi melanjutkan kata-katanya.

Halimah menarik nafas dalam. Ia tahu benar kondisi keluarganya akhir-akhir ini. Bahkan bisa membeli bahan pokok untuk makan sehari-hari saja rasanya sudah sulit. Jadi, untuk keperluan lain memang tidak dipikirkan untuk sementara waktu. Ia hanya bisa hidup sehemat mungkin dari sisa-sisa uang simpanan miliknya yang jumlahnya tidak seberapa. Namun, ia masih tetap bersyukur akan keadaan dirinya dan keluarganya, karena di luar sana masih banyak pula orang-orang yang hidupnya lebih susah darinya.

Buka puasanya masih lama ya, Nek? jam berapa?” Santi kelihatan sudah tidak sabar menunggu berbuka.

Sebentar lagi, Nak. Ayo bantu nenek ambilkan piring untuk kakek. Berapa menit lagi ini pasti sudah azan,” kata Maisah menyemangati.

Tak lama kemudian azan pun berkumandang. Namun, kesyahduan azan kali ini harus berkejaran dengan Sirine ambulance yang meraung-raung memecah kesunyian senja. Suara keduanya seolah saling bersahutan.

Suasana berbuka puasa warga hari ini kembali bercampur dengan duka. Satu lagi warga masyarakat yang terpapar virus dan akhirnya pergi ke haribaan Sang Pencipta. Untuk kesekian kalinya, corona merenggut nyawa dengan cepatnya.

Mamanya Nina meninggal ya, Nek?” tanya santi pada neneknya.

Iya, Nak. Beliau sudah empat hari dirawat di ICU. Kemarin malam nenek dengar kabar kalau beliau mengalami sesak napas.”

Tapi sayang kita tidak bisa melayat ke rumah duka ya, Bu. Penguburannya pun dilakukan oleh pihak rumah sakit langsung.”

Iya, Pak. Peraturannya kan begitu.”

Sampai kapan virus ini ya? Mungkin kita ini banyak dosa, sampai Allah mentakdirkan wabah seperti ini.

Iya, Pak. Zaman sekarang sudah banyak manusia yang lalai sama Yang Kuasa. Sudah ada wabah saja, masih banyak yang lalai. Entah sampai kapan begini,” ujar Maisah.

Sepertinya Limah juga belum bisa pulang lebaran ini, Pak. Ibu lihat di berita televisi, ada penutupan jalan masuk kota katanya. Ibu tidak bisa ajak santi kesana juga, kalau begini,” lanjutnya.

Ya sudah to, Bu. Diterima saja. Memang keadaan kan masih begini.”

Coba saja, Limah tidak merantau ya, Pak. Pasti kita bisa sama-sama terus.”

Lah, terus kalau tidak merantau, dia mau kerja apa disini?”

Apa sajalah, Pak, yang penting halal. Yang penting disini, dekat dengan kita dan anaknya.”

Halimah itu punya cita-cita menyekolahkan Santi sampai perguruan tinggi, Bu. Ibu sudah lupa? Bapak hanya bisa berharap, semoga Allah kabulkan keinginan Limah. Mudah-mudahan nasib Santi jangan seperti kita.”

Maisah mengiyakan perkataan suaminya. Dengan lirih Ia berucap, “Laa haula wa laa quwwata illa billah.”

Ibu kok belum telpon, Nek? Besok kan lebaran,” tanya santi sambil menyantap kolak kesukaannya.

Mungkin ibu masih sibuk, Nak. Kakek juga belum ada uang untuk beli pulsa. Untuk buka puasa hari ini juga nenek cuma masak ini,” jawab Maisah.

Nanti tunggu telepon dari ibu saja, ya.”

Santi menganggukkan kepalanya. Ia menuruti semua perkataan neneknya, bahkan ia pun sudah siap menerima jika hari raya kali ini kembali harus dilalui tanpa sosok ibunda disisinya.

***

Angka korban terpapar virus corona meningkat pasca hari raya. Korban meninggal dunia bertambah tiap harinya. Beberapa sektor usaha terkena imbasnya, banyak yang harus gulung tikar karena terus merugi. Pabrik tempat Halimah bekerja pun akhirnya ditutup sementara akibat wabah yang masih merajalela. Hingga tiba juga akhirnya Ia mendapat pemutusan hubungan kerja dari tempat dia bekerja itu.

Dengan gemetar Halimah menekan nomor kontak orang tua tercintanya. Seketika terbayang wajah mereka dan anaknya di kampung halamannya.

Assalamualaikum.” Terdengar suara Ibunya di seberang sana.

Waalaikumsalam, Bu.” Halimah berhenti sejenak. Sekuat tenaga Ia menahan tangisnya.

Ada apa, Nduk? Kamu baik-baik saja di sana?” tanya Maisah pada putrinya itu.

Halimah tidak sanggup berkata-kata. Apa yang sudah dipersiapkannya menjadi hilang seketika. Hanya satu kalimat saja yang mampu diucapkan.

Limah di PHK, Bu.”

Innalilahi. Iya, Nduk. Tidak apa-apa. Yang penting, kamu yang ikhlas, yang sabar. Sekarang kamu di mana?” jawab Maisah mencoba menghibur.

Maisah berusaha bersikap tenang akan apa yang baru saja diucapkan Halimah dalam sambungan telepon itu. Cepat atau lambat pabrik tempat Halimah bekerja pasti terkena imbas dari pandemi yang berkepanjangan. Saat ini, ia hanya ingin menenangkan hati anaknya yang sedang gundah itu.

Masih di Pabrik, Bu. Besok InsyaAllah Limah pulang.”

Oh, begitu. Iya. Hati-hati, Nduk. Kamu yang sabar, ya. Sudah tenang saja, urusan rezeki itu sudah Allah atur,” Maisah menenangkan putrinya yang terdengar gusar.

Butir-butir air mata Halimah semakin deras membasahi pipinya. Benar apa yang baru saja diucapkan oleh Ibunya tentang rezeki. Namun, entah mengapa batinnya terasa sesak saat memikirkan masa depan Santi anaknya. Apakah Ia bisa kembali mendapat pekerjaan lain nantinya? Apakah Impiannya menyekolahkan Santi hingga perguruan tinggi bisa terwujud jika harus kembali menetap di kampung halamannya.

Halimah menutup sambungan telepon setelah percakapan singkat dengan kedua orang tuanya dan bergegas kembali ke rumah kontrakannya di sekitar pabrik. Ia bersegera mempersiapkan segala kebutuhan untuk perjalanannya kali ini. Halimah tak ingin membuang-buang waktu, karena ia tahu ada banyak persyaratan yang dibutuhkan untuk bisa pulang ke kampung halaman di masa pandemi ini.

Sementara Maisah masih duduk menggenggam gawai di tangannya sambil memikirkan nasibnya kini. Saat Halimah masih bekerja dan suaminya masih bisa berkeliling menjajakan buah, beban yang ada dipundaknya sedikit bisa teringankan. Sebenarnya ia pun merasakan kekhawatiran yang sama dengan Halimah, hanya saja Ia lebih pandai menyembunyikan kesedihannya.

Pandemi sungguh membuat hidupnya yang sudah sulit semakin terhimpit. Carut marut penanganannya membuat keberadaannya tak dapat diprediksi secara pasti kapan berakhirnya. Hidupnya memang tak seberuntung orang-orang kaya atau para pejabat yang banyak terjerat korupsi uang negara. Tak ada yang bisa dilakukannya kini, Ia hanya bisa pasrah pada takdir Yang Maha Kuasa.[]

SELESAI

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis