Benarkah Kebangkitan Taliban Picu Suburnya Terorisme?
Oleh: Kunthi Mandasari
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Kemenangan Taliban perlahan mulai mendapatkan pengakuan. Mengutip pemberitaan-pemberitaan di The Guardian, sampai saat ini hanya Pakistan, Tiongkok dan Rusia yang menunjukkan keinginan untuk bekerja sama dengan Taliban (katadata.co.id, 18/08/2021).
Meski begitu, opini agar tetap waspada pemanfaatan situasi ini oleh kelompok radikal terus diopinikan. Sejumlah negara terang-terangan menyatakan penolakan. Negara-negara Barat menyampaikan keresahan mereka, bahwa Afghanistan akan menjadi sarang teroris. Presiden Prancis, Emmanuel Macron mengatakan Afganistan tidak bisa menjadi tempat perlindungan bagi teroris.
Bahkan perdana menteri Inggris, Boris Johnson meminta agar tidak ada negara yang mengakui Taliban. Dia juga menyerukan agar mencegah Afganistan menjadi tempat berkembangnya teroris. Di sisi lain, Uni Eropa belum menyatakan adanya rencana untuk mengakui Taliban di Afganistan.
Dengan alasan Taliban telah dikenai sanksi sebagai organisasi teroris di bawah hukum Amerika Serikat. Berbagai platform sosial media seperti Facebook, Whatsapp, Instagram, Youtube, hingga TikTok pun menyatakan akan terus melarang konten yang berkaitan dengan Taliban.
Kekhawatiran tersebut juga menjalar hingga dalam negeri. Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri menyatakan adanya dampak terhadap Indonesia dari kemenangan kelompok Taliban. Polri menyebut kemenangan Taliban bisa memicu ketertarikan kelompok-kelompok radikal di Indonesia (new.detik.com, 24/08/2021).
Pakar terorisme dari Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib mengatakan kemenangan Taliban ini bisa memicu semangat kelompok radikal untuk mendirikan negara Islam. Meski tidak secara langsung mampu membuat terorisme di Indonesia menjadi lebih kuat. Namun, kemenangan Taliban bisa menginspirasi kelompok radikal untuk menciptakan negara Islam (new.detik.com, 24/08/2021).
Mawas diri terhadap ancaman teroris memang sebuah keharusan. Namun, menggunakan isu Taliban untuk mengangkat radikalisme dan menjadikannya sebagai permasalahan utama negara tidaklah tepat. Mengingat permasalahan utama negeri ini adalah kemiskinan akut, korupsi yang kian merebak, penegakan hukum yang tebang pilih, SDA yang diobral, dan sederet permasalahan lainnya yang memerlukan penyelesaian tuntas.
Selama ini terorisme dan radikalisme senantiasa disematkan pada umat Islam dan ajarannya. Pembubaran kajian, pengawasan masjid, pencabutan ormas yang dianggap berbahaya, penangkapan hingga penembakan di tempat terhadap terduga dilakukan. Padahal Islam sendiri tidak pernah mengajarkan kekerasan. Ketika ada kekerasan yang mengatasnamakan Islam, jelas itu sebuah kebohongan. Namun opini yang berkembang selalu memojokkan umat Islam.
Adapun kelompok yang terbukti membahayakan negara, berpotensi melepaskan diri dan mendirikan negara, menelan korban dari aparat maupun sipil hanya diberi julukan sebagai kelompok bersenjata. Padahal sangat jelas apa yang dilakukan kelompok tersebut sangat membahayakan masyarakat dan mengancam kedaulatan.
Ini menjadi bukti nyata, adanya perang global melawan teror hanyalah kedok belaka untuk melawan setiap geliat penerapan syariat secara formal. Upaya pencegahan kebangkitan umat Islam akan terus dilakukan dengan menggiring opini yang memojokkan Islam dan ajarannya. Bila perlu melakukan adu domba agar kaum muslim saling mencurigai. Sibuk mencari kesalahan saudara sendiri hingga melupakan musuh utama kaum muslim.
Sebagai seorang muslim hendaknya kita tidak termakan oleh opini yang sedang gencar dihembuskan. Harus pandai memilih dan memilah informasi yang diterima. Bila perlu disinkronkan langsung dengan ajaran Islam. Apakah seperti yang selama ini dituduhkan atau justru memiliki banyak kebaikan ketika diterapkan. Oleh karenanya, diperlukan pemikiran objektif untuk mempelajari ajaran Islam dan menilainya.
Wallahu’alam bishshawab.
[ry/LM]