Ironis. Lagi-lagi Indonesia diserbu produk impor. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari hingga Juli 2021, Indonesia telah melakukan impor cabai sebanyak 30.157,3 ton dengan nilai US$64,62 juta atau setara dengan Rp930,5 miliar (Kurs Rp14.400/US$). Nilai impor periode Januari-Juli 2021 meningkat 58,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang nilainya mencapai US$40,84 juta dengan volume impor mencapai 21.538,79 ton. Cabai ini dipasok dari India, China, Malaysia, Spanyol, Australia, dan negara lainnya (cbncindonesia.com, 23/08/2021).

Sungguh disayangkan kebijakan impor ini harus dilakukan di tengah-tengah upaya negara membangun kemandirian pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani. Alih-alih akan terwujud kemandirian pangan, yang terjadi adalah negara menjadi tergantung kepada negara lain. Tentu saja kebijakan impor cabai ini akan merugikan para petani. Harga cabai hasil produksi petani lokal akan jatuh di pasaran. Lalu bagaimana bisa meningkatkan kesejahteraan petani, jika impor cabai terus dilakukan?

Impor cabai ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri. Cabai diimpor dalam bentuk cabai kering, cabai dihancurkan atau ditumbuk dan bukan cabai segar konsumsi. Sementara itu Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa pasokan aneka cabai untuk konsumsi di Indonesia sendiri berada pada posisi surplus (Bisnis.com, 24/8/2021).

Kebijakan impor akan senantiasa dipilih oleh negara yang mengadopsi sistem ekonomi kapitalis. Alasannya adalah ketidakmampuan negara dalam menyediakan cabai yang siap digunakan oleh industri. Padahal produksi cabai petani lokal sendiri melimpah. Seharusnya pemerintah berupaya mencari jalan keluar agar hasil cabai dari petani bisa diserap oleh industri dalam negeri. Hal ini bisa dilakukan dengan membuat pabrik pengolahan hasil produksi cabai. Sehingga kebutuhan cabai untuk industri bisa terpenuhi dari dalam negeri bukan dari luar negeri.

Tentu saja kita mampu untuk keluar dari ketergantungan impor bahan pangan (tidak terkecuali cabai), jika ada kemauan dari pembuat kebijakan dan tentu saja adanya sistem yang mendukung atas upaya tersebut. Sistem yang bersumber dari pemilik alam semesta yaitu sistem Islam.

Ratni Kartini, S.Si,

(Kendari, Sulawesi Tenggara) 

[hw/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis