Sistem Sekuler Gagal Wujudkan Toleransi
Oleh: Sumaiyah, S.E.
(Aktivis Muslimah)
Lensamedianews.com-Setelah terjadi polemik selama sekitar 15 tahun, akhirnya masalah Gereja Kristen Indonesia (GKI) terselesaikan melalui pemberian tanah hibah seluas 1668 m² di lahan yang berjarak sekitar 1km dari lokasi sebelumnya. Penyelesaian polemik gereja tersebut ditandai dengan penyerahan dokumen Izin Membuat Bangunan (IMB) untuk pembangunan GKI di Jl. R. Abdullah bin Nuh, Yasmin, Kota Bogor Jabar oleh Pemerintah Kota Bogor melalui Wali Kota Bima Arya kepada pengelola GKI Pengadilan Kota Bogor Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor (Republika, 8/8/2021).
Keberadaan GKI Yasmin itu bermula ketika Pemerintah Kota Bogor menerbitkan IMB pada 19 Juli 2006 lalu, setahun kemudian pembangunan mulai dilakukan. Namun, pembangunan tersebut mendapat penolakan dari beberapa kelompok masyarakat dan di tahun 2008 perhimpunan warga sekitar mengajukan surat permohonan pembatalan pendirian gereja ke Pemerintah Kota Bogor dan ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya surat pemberhentian IMB. Namun, pihak gereja mengklaim pembekuan tersebut tidak sah dan kemudian menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.
Kemudian di tahun 2010 Forum Komunikasi Muslim Indonesia (FORKAMI) melaporkan dugaan pemalsuan data dan tandatangan persetujuan warga yang dilakukan panitia gereja. Ketua FORKAMI Achmad Iman menegaskan Penolakan gereja bukan atas dasar anti gereja, tapi kami anti penipuan.” (Republika, 15/6/2021).
Selanjutnya tahun 2011 Pemkot Bogor mengeluarkan keputusan pencabutan IMB atas pemalsuan tersebut, kemudian pada 5 Juli 2012 Pemkot Bogor menawarkan relokasi ke tempat lain, namun ditolak oleh pihak gereja.
Perlu diketahui bahwa penolakan warga Curug Mekar pada tahun 2008, itu alasannya adalah adanya dugaan pemalsuan tanda tangan warga pendukung untuk memperoleh IMB pembangunan GKI Yasmin.
Dan juga alasan lainnya yaitu GKI Yasmin tidak memiliki dan tidak memenuhi minimal pengguna sejumlah 40 KK yang berdomisili di wilayah setempat. GKI Yasmin juga tidak mendapat rekomendasi tertulis dari MUI, Dewan Gereja Indonesia (DGI), Parisada Hindu Dharma, MAWI, Walubi, Ulama/Kerohanian. Itulah beberapa alasan mengapa warga menolak IMB GKI Yasmin.
Namun, alasan itu tetap tidak dibenarkan oleh para pegiat HAM dan kebebasan beragama. Penolakan IMB GKI Yasmin dianggap sebagai bentuk intoleransi umat mayoritas terhadap minoritas. Padahal mestinya mendudukkan persoalan ini secara proporsional. Bahkan banyak pemberitaan media yang menyudutkan umat Islam, Seolah umat Islam intoleran dan tidak menghargai keberagaman agama di Indonesia.Ini pula yang menjadikan toleransi dalam negara sekuler memiliki standar ganda. Tidak konsisten dan berat sebelah.
Respon penolakan pengurus GKI Yasmin mengindikasikan bahwa solusi toleransi yang ditawarkan sistem sekuler tidak mampu memberikan kepuasan semua pihak. Dibutuhkan energi besar dan waktu panjang untuk menyelesaikannya. Tidak ada titik temu. Ketika dipilih jalan “kompromi” pun masih menimbulkan reaksi negatif beberapa pihak.
Dalam sistem sekuler, kebebasan beragama diterapkan dengan cara pandang kebebasan tanpa batas. Setiap individu merasa berhak menjalankan ibadahnya meski menabrak aturan yang ada. Pada akhirnya, polemik seperti ini akan terus berulang selama sistem sekuler tetap dijalankan.
Adapun dalam Islam, toleransi yang diterapkan bukanlah toleransi bebas tanpa batas. Bukan pula toleransi dengan mencampuradukkan yang hak dengan yang batil. Toleransi dalam Islam termaktub dalam surah Al Baqarah ayat 256 yang artinya, “Tidak ada paksaan dalam (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.
Dalam Islam, bebas beragama terkandung makna: (1) Islam memberikan kebebasan kepada umat beragama untuk memeluk agamanya masing-masing tanpa ada ancaman dan tekanan. (2) Apabila seseorang telah menjadi muslim, maka ia tidak sebebasnya mengganti agamanya. Sebab ada larangan tegas untuk murtad. (3) Islam memberi kebebasan kepada pemeluknya menjalankan ajaran agamanya sepanjang tidak keluar dari garis-garis syariah dan akidah.
Toleransi beragama ditunjukkan dengan jelas oleh Rasulullah Saw. saat menerima delegasi Kristen Najran. Ketika sampai saatnya untuk beribadah, maka Rasulullah Saw. memberi kesempatan kepada mereka beribadah.
Sikap toleransi juga ditunjukkan oleh Sultan Muhammad Al-Fatih tatkala menaklukkan Konstantinopel. Saat ia memasuki Hagia Sophia, ia menemui umat Kristen yang tidak ikut berperang dan sedang bersembunyi di dalam gereja. Kala itu, ia mendekati wanita dan anak-anak yang sedang ketakutan.
“Jangan takut, kita adalah satu bangsa, satu tanah dan satu nasib.Kalian bebas menjaga agama kalian,” ujarnya dengan ramah dan disambut gembira umat Kristiani.
Itulah penerapan toleransi hakiki dalam Islam. Dan fakta Khalifah sebagai pengayom dan pelindung bagi warga negaranya, tidak peduli dia muslim atau bukan, adalah bukti keadilan Islam sebagai rahmatan lil alamin. [LM/Ra]