Kasus Suap Mendominasi Korupsi di Indonesia
Oleh : Emmy Emmalya
(Pengamat Kebijakan Publik)
Lensamedianews.com-Seiring pandemi yang tak jelas kapan berakhir ini, jumlah kasus korupsi di Indonesia terus meningkat, bahkan dana bansos untuk penanganan Covid-19 pun disikat.
Di mana hati nurani mereka, di tengah rakyatnya berlomba dengan mempertahankan hidup, mereka malah bancakan uang tak halal.
Menurut Wakil Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Siti Juliantari sepanjang tahun 2020 tercatat ada sekitar 444 kasus korupsi di Indonesia yang dilakukan oleh 875 orang tersangka. Akibat dari korupsi ini negara mengalami kerugian hingga Rp18,6 triliun (CNNIndonesia, 15/8/21).
Kemudian ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan bahwa lebih dari 70 persen perkara korupsi di Indonesia masih didominasi kasus suap (mataIndonesia,2/2/21).
Seperti halnya yang dilakukan oleh KPK baru-baru ini yang telah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Sulawesi Selatan (Sul-Sel) dan menangkap enam orang yang sudah dijadikan tersangka, salah satunya adalah Gubernur Sul-Sel Nurdin Abdullah, serta pejabat di lingkungan pemprov dan pihak swasta. Nurdin juga diduga telah menerima suap dengan nilai total 5,4 miliar.
Selain itu, KPK juga telah menahan mantan Kepala Subdirektorat dan Dukungan Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Dadan Ramdani. Penahanan dilakukan terkait dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah.
Sedemikian maraknya korupsi dengan kasus suap di kalangan pejabat negara ini, apakah gaji mereka tak cukup untuk menghidupi anak dan istrinya, padahal gaji mereka bukan lagi hitungan satuan juta lagi tapi belasan bahkan puluhan juta.
Begitulah jika hati telah dibutakan oleh cinta terhadap harta. Dosa dan pahala bukan lagi menjadi kriteria mereka. Kepercayaan mereka akan adanya pencipta hanya sebatas di kartu identitas saja tanpa ada pengaruh dalam kehidupan.
Inilah tatanan kehidupan yang dihasilkan dari sistem yang dianut oleh negeri ini yaitu sistem kapitalisme, dimana materi menjadi puncak kebahagiaan manusia, maka adalah suatu hal yang wajar jika materi dijadikan ajang untuk diperebutkan.
Dalam sistem ini, menegasikan peranan pencipta dalam mengatur kehidupan manusia, sehingga manusia dibiarkan terikat dengan aturan buatan manusia yang serba subjektif dan penuh dengan kekurangan.
Penetapan hukuman dalam sistem saat ini juga tidak mengandung efek jera, malahan hukum bisa dibeli, hingga muncul anekdot “siapa kuat dia yang akan berkuasa.”
Hidup dalam sistem ini bagaikan hidup di hutan belantara. Keberadaan negara hanya berperan sebagai regulator saja. Para pejabat hanya menganggap rakyat sebagai beban bukan sebagai objek yang harus disejahterakan.
Sudah menjadi rahasia umum, para petinggi di negeri ini ketika meraih puncak kekuasaan mereka pun melakukannya dengan penuh intrik. Praktek suap menyuap seakan seperti halnya lalapan, sudah dianggap biasa dan tak dianggap dosa.
Maka adalah hal yang tak aneh lagi, ketika kekuasaan sudah diraih, dalam pikiran mereka adalah bagaimana caranya agar balik modal dari dana yang telah dikeluarkan sekian banyak untuk ongkos pengangkatan dirinya.
Berbanding terbalik dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam jabatan bukan sebagai tempat untuk mendulang kekayaan, tapi jabatan dalam Islam adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Bahkan jabatan petinggi negara dalam Islam adalah posisi yang tidak diinginkan karena mengandung konsekuensi tinggi di dalamnya, karena akan dimintai pertanggunganjawaban yang akan memakan waktu lama di akhirat nanti.
Adapun kaitannya dengan suap, Allah Swt. telah memperingatkan manusia melalui firman-Nya dalam Al-Qur’an, surah Al-Baqarah: 188
وَلَا تَأْكُلُوْۤا اَمْوَا لَـكُمْ بَيْنَكُمْ بِا لْبَا طِلِ وَتُدْلُوْا بِهَاۤ اِلَى الْحُـکَّامِ لِتَأْکُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَا لِ النَّا سِ بِا لْاِ ثْمِ وَاَ نْـتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Dengan firman Allah Swt. tersebut menjadi terang bahwa praktek suap adalah perbuatan dosa besar yang hukumannya bisa berupa hukuman mati jika dengan aktivitas suap itu menyebabkan banyaknya pihak yang dirugikan, apalagi memakan harta berupa harta yang diperuntukkan bagi rakyat yang kelaparan karena terimbas pandemi.
Dalam Islam juga diterapkan hukuman yang berefek jera bagi pelaku kejahatan sehingga memberikan pelajaran bagi yang lain untuk tidak melakukan perbuatan yang sama.
Selain hukuman yang tegas dan berefek jera. Sistem Islam juga membuat mekanisme penggajian pejabat negara yang sesuai dengan beban kerjanya sehingga akan menutup peluang terjadinya korupsi diantara para pejabat negara.
Demikianlah mekanisme sistem Islam menindak kejahatan korupsi dan suap.
Sehingga budaya korupsi dan suap bisa diberantas secara tuntas hingga keakar-akarnya. Pelayanan terhadap masyarakat pun akan terayomi dengan benar. Wallahu’alam bishowab. [LM/Mi]