Kemana Perubahan Harus Kita Arahkan?
Oleh : Agu Dian Sofiyani
Lensa Media News – Saat ini gaung perubahan semakin menyeruak di tengah masyarakat. Mahasiswa yang identik dengan agen perubahan mulai bangun dari tidurnya. Begitupun Masyarakat merasakan dan menyadari ada ketidakadilan dan kezaliman yang dilakukan oleh para punggawa negeri.
Bagaimana tidak, ketidakadilan dan kezaliman itu secara telanjang dipertontonkan. Masyarakat dibiarkan berjibaku dengan virus berbahaya sendirian. Kebijakan yang ditetapkan melarang masyarakat untuk keluar rumah, namun tak diberi jaminan kebutuhan hidup. Logikanya, bagaimana bisa? Satu sisi ketika masyarakat memutuskan untuk bekerja ke luar rumah agar tak mati kelaparan, di sisi yang lain penguasa malah memberikan sanksi yang berat.
Tak cukup sampai di sana, beberapa saat lalu publik dihebohkan dengan diskon hukuman terhadap Pinangki, salah seorang aparat hukum yang terjerat kasus kriminal. Pinangki sepatutnya mendapatkan hukuman yang berat karena terbukti dalam tiga kasus seperti suap, pencucian uang hingga pemufakatan jahat dalam jabatannya sebagai penegak hukum untuk membantu buronan Djoko Tjandra. Realitanya para hakim justru memberikan diskon hukuman menjadi sangat ringan, hanya 4 tahun saja dari vonis sebelumnya yakni 10 tahun.
Kedua fakta yang telah disebutkan hanyalah secuil dari banyak kezaliman dan ketidakadilan yang tengah menimpa masyarakat. Tentu menjadi hal yang alami jika masyarakat telah menyadari bahwa di dalam kehidupan mereka telah terjadi kerusakan sekaligus kebobrokan, secara alamiah pula mereka akan berpikir tentang perubahan menuju kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang jauh dari kezaliman dan kehidupan yang diliputi kesejahteraan dan kebahagiaan. Masalahnya, perubahan yang bagaimana yang seharusnya dilakukan, khususnya oleh kaum muslimin saat ini, agar menjadi lebih baik?
Untuk mengetahui perubahan seperti apa yang harus dilakukan, tentunya kita harus mengetahui akar masalah mengapa semua kerusakan tersebut terjadi. Kalau kita berpikir secara jernih dan mendalam, maka akan kita dapati bahwa semua kezaliman dan ketidakadilan ini bermuara pada satu hal yakni sistem sekularisme kapitalisme yang diemban sekaligus diterapkan oleh para penguasa saat ini.
Sistem sekularisme kapitalisme yang intinya menjauhkan agama dengan kehidupan telah menggantikan hukum sang pencipta dengan hukum buatan manusia. Manusia yang lemah dan terbatas dibiarkan mengatur kehidupan. Akibatnya aturan dibuat sesuai dengan kepentingan manusia yang membuatnya. Maka wajar akhirnya aturan hanya menguntungkan segelintir orang (yang memiliki modal dan kekuasaan) dan merugikan pihak lain yakni masyarakat secara keseluruhan.
Pembuatan hukum oleh manusia ini kita kenal dengan nama demokrasi. Demokrasi yang berprinsip dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat meniscayakan kedaulatan (hak membuat hukum) berada di tangan rakyat dalam hal ini diwakili oleh dewan perwakilan rakyat. Sampai saat ini, demokrasi masih diopinikan sebagai sebuah sistem terbaik di dunia. Nyatanya sistem ini menjadikan manusia berperan seperti Tuhan, yakni membuat hukum untuk mengatur kehidupan manusia. Tentu ini sangat bertentangan dengan akidah agama, khususnya Islam.
Perubahan Hakiki hanya dengan Islam
Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia adalah sebuah sistem yang sempurna. Kesempurnaannya terletak dari pengaturan Islam terhadap seluruh aspek kehidupan, mulai dari, ibadah, muamalah, hingga sistem pemerintahan.
Ketika Islam diterapkan selama kurang lebih 1300 tahun, sejak Nabi Muhammad Saw hingga tahun 1924, Islam telah menghantarkan manusia kepada kemuliaan, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi muslim maupun non muslim. William James Durant (1885-1981), seorang sejarawan berkebangsaan Amerika dalam buku yang dia tulis bersama Istrinya Ariel Durant, The Story of Civilization, bahkan mengatakan, “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka.”
Begitulah sedikit gambaran ketika Islam diterapkan dalam kehidupan bernegara. Karena Islam berasal dari Allah Sang Maha Pencipta, yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk ciptaannya, maka aturan yang dibuatNya pun tidak mengandung kepentingan bagi siapapun kecuali kemaslahatan bagi mahluk ciptaanNya.
Jika demikian faktanya, maka perubahan yang menjanjikan kebahagiaan yang hakiki, hanyalah perubahan menuju sistem Islam. Jika perubahan yang didambakan masih dalam bingkai demokrasi, maka perubahan yang didapatkan hanyalah perubahan yang semu. Maka yang seharusnya dilakukan adalah membuang demokrasi pada tempatnya dan menggantinya dengan sistem Islam. Hanya dengan Islam lah kita akan merasakan kebahagiaan tidak hanya di dunia namun juga di akhirat.
Wallahu a’ lam bish showab.
[ry/LM]