Baha’i Eksis Akibat Kebebasan Beragama

Oleh : Riri Rikeu

 

Lensamedianews.com-Dalam demokrasi dikenal kebebasan bertingkah laku, berpendapat, kepemilikan dan beragama. Kebebasan beragama ini pada faktanya tidak netral. Kadangkala, satu pihak diuntungkan dengan mengatasnamakan kebebasan beragama tapi seringkali juga merugikan pihak lainnya. Lihat saja jika diarahkan pada umat Islam, kebebasan beragama ini seringkali tidak bisa diterapkan seutuhnya. Umat Islam tidak bebas menjalankan ajaran agamanya secara menyeluruh. Jika ada umat Islam yang menggaungkan ajaran Islam kafah maka seringkali dilabeli radikal, anti-toleran.

Gerak umat Islam dibatasi hanya pada aspek akidah, ibadah, akhlak. Pada bagian yang bersifat makro seperti sistem pemerintahan, sistem sanksi tentu tidak mendapatkan tempat dalam demokrasi. Disisi lain, kebebasan beragama ini seringkali digunakan untuk melindungi paham-paham baru yang menyesatkan. Salah satunya golongan Baha’i.

Abdul Jamil Wahab (Peneliti Puslitbang Kemenag) pada situs kemenag.go.id pada tanggal 30 Juli 2021 menegaskan bahwa Baha’i adalah sebuah agama. Baha’i, termasuk agama-agama lainnya seperti Sikh, Tao, Yahudi, Aluktodolo, Merapu, Sunda Wiwitan, dan lainnya, berhak hidup di Indonesia. Negara harus menghormati, melindungi, dan melayani dengan menjamin terpenuhinya pelayanan hak-hak sipil mereka. Wahab menjelaskan bahwa dalam konstitusi UUD 45, tidak dikenal istilah agama diakui dan agama tidak diakui. Istilah agama diakui, terdapat dalam UU No 23 Tahun 2006 tentang Adminduk, namun demikian, Pasal 61 dan 64 UU Adminduk pernah dijudicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam keputusannya, MK menyatakan kedua Pasal tersebut bertentangan dengan Konstitusi yang menjamin kebebasan beragama. Kedua Pasal tersebut dinilai mendiskriminasi penganut agama dan kepercayaan tertentu. Pernyataan Wahab itu disampaikan dalam konteks dukungan pada video Menag Yaqut Cholil Qoumas yang viral, saat memberikan ucapan selamat merayakan hari raya Nawruz kepada komunitas Baha’i.

Masyarakat umum memberikan reaksi yang beragam dalam menyikapi video tersebut. Harus diakui, dukungan yang diberikan pada Baha’i itu tidak sesuai syariat Islam. Tentu saja istilah kebebasan beragama hadir pada wacana di atas. Kebebasan beragama sering kali dijadikan dalih untuk melindungi kepercayaan atau paham baru dalam iklim demokrasi.

Maka, tidaklah heran jika agama-agama baru tumbuh subur. Ketua MUI Sumatera Barat (Sumbar), Buya Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa menegaskan, bahwa esensi dari agama Baha’i tersebut adalah ajaran sesat. “ Bahaiyyah ditinjau dari latar belakang sejarah, esensi ajaran dan gerakan penyebaran merupakan ajaran sesat yang menodai ajaran Islam dan menjadi pintu masuk musuh untuk merusak umat Islam,” katanya (suara.com, 30/7/2021).

Media muslimah news. com pada tanggal 4/0/2021 menyatakan bahwa dalam pandangan sistem Islam, negara wajib menjaga akidah umat Islam dari berbagai penyimpangan, pendangkalan, serta penyesatan sebagaimana syariat Islam berfungsi menjaga agama, akal, jiwa, harta, dan keamanannya. Dalam hal menjaga agama, negara harus memberikan toleransi terhadap pemeluk agama lain. Agama lain dapat hidup berdampingan dengan tenang bersama kaum muslimin di bawah naungan Islam. Sebab, pengakuan Islam terhadap pluralitas (ragam) masyarakat tidak lepas dari ajaran Islam.

Allah berfirman, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama [Islam].

(QS al-Baqarah [2]: 256).

Negara juga akan menetapkan sanksi tegas bagi mereka yang murtad, mengakui sebagai Nabi, menistakan Islam dan ajarannya. Nabi Saw. bersabda, “Siapa saja yang murtad dari agamanya, bunuhlah!” (HR at-Tirmidzi).

Dengan kata lain, saat seseorang masuk Islam, ia harus memahami konsekuensi memeluk Islam berikut sanksinya jika ia menyalahi syariat Islam. Karena memeluk Islam adalah bagian dari pilihan yang dibuat dengan penuh kesadaran bukan paksaan. Wallohu’alam. [LM/Mi]

Please follow and like us:

Tentang Penulis