Faskes (Fasilitas Kesehatan) Langka, Nyawa Tak Lagi Berharga?

Oleh: Uswatun Al Maghfirah

 

Lensa Media News – Minggu, 4 Juli 2021, masyarakat dihebohkan dengan kabar meninggalnya 63 pasien covid-19 RSUP Dr Sardjito Yogyakarta akibat stok oksigen yang menipis (Bisnis.com,4/7/2021). Banyaknya pasien covid-19 bergejala berat yang membutuhkan oksigen membuat seluruh tabung persediaan rumah sakit terpakai. Pengisian oksigen pada dasarnya telah dilakukan setiap pagi akan tetapi hal ini tentu saja tetap memakan waktu, sedangkan kebutuhan oksigen pada pasien sejatinya tidak dapat menunggu.

Kelangkaan oksigen bagi pasien di rumah sakit ternyata diikuti lonjakan harga yang terjadi di pasaran. Harga tabung oksigen meroket mulai dari 16 hingga 900 persen (Kompas.com,7/7/2021). Meningkatnya permintaan ternyata tidak sebanding dengan jumlah yang beredar , ditambah panjangnya jalur distribusi membuat meroketnya harga tabung Oksigen tidak terelakkan (detiknews,5/7/2021).

Tingginya peningkatan kasus covid-19 tentu berdampak pada melonjaknya fasilitas kesehatan yang harus disediakan, karena pasien pada dasarnya tidak dapat ditangani dengan maksimal ketika faskes kurang atau bahkan nihil. Sayangnya, minimnya faskes akibat gelombang kedua ini terjadi di berbagai tempat di Indonesia.

Melihat kebijakan yang ada sejak awal pandemi hingga saat ini , bukankah menjadi hal yang wajar bagi pemerintah untuk memprediksi lonjakan pasien covid-19 yang akan terjadi? Antisipasi berupa lockdown yang tidak pernah dijalani, menyebabkan tingginya mobilitas masyarakat. Padahal virus ini mudah menyebar ketika mobilitas manusia terjadi dengan masif. Apalagi penerbangan antar negara dibuka yang memungkinkan masuknya varian baru yang lebih mudah menular.

Lonjakan positif covid-19 adalah konsekuensi dari kebijakan yang telah diterapkan. Hal ini diperparah dengan tidak hadirnya negara dalam menjamin kebutuhan faskes yang dibutuhkan sehingga terjadi kelangkaan dan kenaikan harga yang sangat tinggi.

Peraturan yang diterapkan sejak awal terikat erat dengan faktor ekonomi yang nyatanya menjadi alasan kuat untuk menghindari lockdown karena akan menghambat perekonomian yang terjadi. Selain itu ketidakmampuan negara dalam menjamin hajat hidup setiap warganya ketika lockdown terjadi bukanlah isapan jempol semata. Ya, bagaimana negara yang ekonominya disaat sebelum pandemi sudah memprihatinkan akan mencukupi seluruh kebutuhan rakyat disaat pandemi?

Alhasil, peraturan yang dibuat tidak fokus pada masalah kesehatan tetapi dibayangi oleh faktor ekonomi. Padahal ketika kondisi kesehatan tidak membaik maka roda perekonomian akan tetap tersendat. Disitulah lingkaran setan terbentuk dan tak bisa dihindari.

Kebijakan berstandarkan materi semacam ini merupakan sebuah ciri dari diadopsinya sistem kapitalisme di negeri ini. Sistem yang berporos pada materi belaka, jauh dari kata manusiawi karena hakikat bahagia pada sistem ini hanya ketika mendapatkan materi belaka bahkan jika harus mengorbankan nyawa manusia sekalipun. Bayangkan apa yang terjadi ketika negara mengadopsi sistem semacam ini?

Sungguh dapat kita telah bersama bahwa pengadopsian sistem dalam tatanan negara berdampak pada kebijakan yang dipilih untuk mengurus rakyat. Nyatanya telah nampak kerusakan sistem kapitalis dalam mengurus rakyat yang dicontohkan dalam penanganan pandemi saat ini. Bukan suatu yang harus dipungkiri jika penanganan pandemi adalah hal holistik, karena bicara kesehatan artinya bicara ekonomi yang menopang dan juga bicara tentang perpolitikan yang dikepalai sistem ketatanegaraan.

Sehingga ketika ingin seluruhnya membaik bukan lagi menjadi pertanyaan, “apakah perlu untuk mencari sistem lain yang lebih jelas mampu mengurus rakyat secara holistik dan manusiawi?” Adakah sistem yang lebih baik dari yang diberikan oleh Tuhan?

Wallahu a’ lam bish showab.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis