Salah Kaprah Pendidikan Seksual Berbasis Sistem Liberal
Oleh : Dien Kamilatunnisa
Lensa Media News- Liberalisme menggempur keluarga Muslim saat ini. Salah satu wujudnya adalah kebebasan berprilaku, hal ini bisa terlihat dari pernyataan seorang artis. Dia menyatakan bahwa dia tidak segan menemani anak-anaknya menonton film video porno. Dalam anggapannya bahwa itu adalah cara unik dalam memberikan edukasi pada anak-anaknya dan ingin menjadi orangtua yang terbuka (antaranews.com, 27/06/2016).
Meskipun dia adalah seorang Muslim, tapi dia menganggap keputusannya adalah sebuah cara yang tidak kolot dalam memberikan edukasi seks.
Beberapa pihak pun memberikan tanggapannya terhadap pernyataan artis tersebut. Pertama dari KPAI, dengan menyampaikan bahwa menonton film porno memberikan efek negatif meski ditemani orangtua, karena film porno adalah konten yang buruk. KPAI mendorong agar etika perlindungan anak diperhatikan (detik.com, 26/06/2021).
Sementara itu, psikolog keluarga, Kasandra Putranto, menjelaskan bahwa menonton film porno bisa mendorong rasa ingin tahu anak kemudian ingin mempraktikannya. Disamping itu, menonton film porno bisa menimbulkan adiksi. Saat menonton konten pornografi, anak akan mendapatkan kepuasan fisik yang ditandai dengan kehadiran oksitosin pada perempuan dan vasopresin pada laki-laki, yang sifatnya adiktif (berita.yahoo.com, 27/06/2021).
Pada faktanya, akses konten pornografi memang sangat mudah. Faktualnews.com tahun 2020 lalu menuliskan bahwa sekitar 12% dari semua halaman web adalah pornografi. Seiring pertumbuhan internet secara eksponensial, jumlah pornografi di internet juga meningkat. Sebanding dengan jumlah kontennya yang meningkat, tingkat kemudahan mengakses juga meningkat.
Namun, potensi mudahnya mengakses pornografi itu bukan alasan membenarkan remaja untuk menontonnya meski ditemani oleh orangtua. Banyak hal negatif yang akan timbul. Muslim harus waspada bahwa kondisi saat ini penuh dengan keburukan akibat sistem yang memisahkan antara agama dan kehidupan. Agama hanya ada diranah ibadah, sementara dalam kehidupan sehari-hari ditinggalkan. Malah meninggalkan agama dianggap sebagai sebuah jalan menuju kemajuan.
Sistem sekulerisme berasaskan manfaat. Selama ada manfaat meskipun itu melanggar syariat maka akan mendapatkan tempat. Pun pada konten pornoaksi dan pornografi. Sistem ini tidak secara tegas memberikan sanksi pada pelaku dan memberikan edukasi pada individu maupun masyarakat.
Mudahnya akses film-film porno bisa dianggap sebagai upaya melemahkan generasi muda. Mereka hanya disibukkan dengan hal-hal yang berbau seksual saja. Padahal potensi generasi muda sangat besar bagi sebuah peradaban. Jika sekularisme yang menjadi landasan sebuah peadaban maka generasi muda tidak ditempatkan pada porsi yang sahih. Jauh dari rasionalitas dan tidak sesuai dengan fitrah sebagai manusia. Akibatnya kekacauan akan marak di masyarakat.
Siapa yang diuntungkan tatkala generasi Islam lemah? Tentu musuh-musuh Islam yang untung. Mereka tahu bahwa kaum Muslim tidak bisa dilemahkan jika adu fisik karena Muslim yang ideologis memandang hidup mulia atau mati syahid adalah kemenangan. Musuh-musuh Islam melemahkan generasi muda melalui menanamkan tsaqofah asing. Ide sekularisme menjadi landasannya. Sehingga Muslim yang memiliki tsaqofah asing memandang bahwa dengan ide kebebasanlah mereka akan bahagia.
Hal ini kontras dengan kondisi generasi muda dalam pandangan Islam. Generasi muda dalam pandangan Islam adalah generasi yang produktif. Mereka memiliki visi misi hidup untuk menyebarkan Islam ke seluruh alam. Sehingga pendidikan yang mereka dapatkan selaras dengan visi misi tersebut. Segala hal yang membuat mereka tidak produktif akan ditutup. Konten pornografi jelas tidak akan ada jika sistem Islam diterapkan.
Sehingga, pikiran generasi muda Islam tidak rusak karena memikirkan urusan seksual. Sistem pergaulan Islam akan diterapkan sehingga tidak ada kerancuan lagi mengenai pendidikan macam apa yang harus diberikan dalam mengawal pendidikan seksual. Tidak seperti saat ini. Banyak keluarga Muslim yang mengadopsi tsaqofah asing dalam solusi pendidikan seksual pada anak-anaknya.
Alih-alih menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah baru. Jadi, keluarga Muslim wajib meninggalkan solusi hidup yang berasal dari tsaqofah asing dan beralih pada tsaqofah Islam yang diterapkan dalam sebuah sistem yang khas, yakni sistem Islam. Wallahu a’ lam bish showab. [LM/Ry]