Gelombang Kedua Corona, di Mana Peran Penguasa?
Oleh: Sari Mariana, drg.
( Praktisi Kesehatan, tinggal di Malang)
Lensa Media News – Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono menyebut saat ini Indonesia sudah masuk gelombang kedua lonjakan kasus Virus Corona (Covid-19) dan bersiap menuju puncaknya. Ia memprediksi kenaikan kasus konfirmasi positif Covid-19 di puncak gelombang kedua kali ini akan lebih tinggi dari apa yang terjadi akhir Januari 2021 lalu. Dalam hal ini, Indonesia pernah mencatat penambahan kasus Covid-19 tertinggi selama pandemi yakni 14.518 kasus sehari di 30 Januari 2021. “Kalau kemarin Januari Februari disebut puncak pertama, ya, [sekarang] bisa disebut kita sudah di gelombang kedua, tapi belum selesai. Dan ini kemungkinan menuju puncak gelombang kedua yang lebih tinggi dari yang pertama,” kata Pandu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (21/6).
Di berbagai Rumah Sakit di Indonesia dilaporkan penuh, sehingga pasien Covid-19 kesulitan mendapatkan perawatan. Dari 95 Rumah Sakit itu, 36 memberitahukan bahwa ruang ICU mereka penuh, termasuk RS Mitra Keluarga Depok, RS Sulianti Saroso, RSUD Pasar Minggu dan RS Persahabatan. Sementara, delapan RS menyampaikan tidak memiliki ruang ICU dan 51 RS sama sekali tidak merespon.
Terjadinya gelombang kedua Covid-19 di Indonesia dikarenakan beberapa sebab:
Pertama, terjadinya pengabaian protokol kesehatan di tengah masyarakat. Masyarakat banyak yang sudah jenuh dalam menghadapi virus ini bahkan banyak yang mengatakan bahwa virus ini tidak ada. Dilaporkan sekitar 44 juta rakyat tidak percaya adanya Covid. Kedua, terjadi libur lebaran dan dibukanya tempat wisata. Seperti yang banyak viral di media sosial di tempat wisata masyarakat berjubel tanpa protokol kesehatan. Ketiga, kebijakan penguasa yang berganti-ganti, tidak tegas, tidak jelas sehingga membuat masyarakat tidak percaya dengan berbagai anjuran Pemerintah. Keempat, ketidaksiapan Pemerintah dalam menghadapi wabah ini. Kebijakan yang hanya menguntungkan dari sisi ekonomi, tanpa memperhatikan kesehatan. Padahal jelas kesehatan lebih diutamakan daripada ekonomi.
Wabah Covid-19 sudah berlangsung satu tahun lebih dan hampir di seluruh negara di dunia terkena wabah ini. Seharusnya pemerintah bisa belajar banyak dari kasus yang ada di negara lain, agar tidak mengalami gelombang kedua. Namun, seperti yang terjadi saat ini bahkan pendapat dari para ahli tidak digubris. IDI (Ikatan Dokter Indonesia) menyarankan agar Pemerintah melakukan lockdown agar menahan penyebaran virus ini. Alih-alih mendengarkan para ahli bahkan pemerintah lebih mementingkan sisi ekonomi.
Wabah yang terjadi di dunia sudah berulang kali terjadi. Diperkirakan setiap 100 tahun terjadi wabah di seluruh dunia. Islam sudah mengajarkan kepada kita bagaimana menangani wabah yang sudah jelas terbukti berhasil.
Seharusnya umat mulai menyadari bahwa lambannya penanganan virus corona bukan semata-mata problem teknis, namun problem sistemik. Maka, penyelesaiannya pun harus sistemik pula. Kapitalisme sekuler yang tidak mengutamakan nyawa manusia, harus diganti dengan sistem lain. Tiada lain adalah sistem Islam. Sistem yang berasal dari pencipta manusia, Alam Semesta dan Kehidupan.
Nabi saw. bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Sungguh lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim.” (HR an-Nasai, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).
Secara teknis, solusi Islam dalam mengatasi masalah wabah adalah sebagai berikut.
Pertama, Isolasi/karantina.
Rasul saw. bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
“Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Jika terjadi wabah di tempat kalian berada, janganlah kalian keluar dari wilayah itu.” (HR al-Bukhari).
Tindakan isolasi/karantina atas wilayah yang terkena wabah tentu dimaksudkan agar wabah tidak meluas ke daerah lain.
Kedua, Jaga Jarak.
Di daerah terjangkit wabah diterapkan aturan berdasarkan sabda Rasul saw.: “Janganlah kalian mencampurkan orang yang sakit dengan yang sehat.” (HR al-Bukhari). Jaga jarak dilakukan dengan physical distancing seperti yang diterapkan oleh Amru bin ‘Ash dalam menghadapi wabah Tha’un ‘Umwas di Palestina kala itu dan berhasil. Hanya saja, untuk mengetahui siapa yang sakit dan yang sehat harus dilakukan 3T (test, treatment, tracing) massal tanpa henti. Ini juga upaya yang harus dilakukan pemerintah hari ini dalam menangani Covid selain gencar mengkampanyekan 3M.
Dari berbagai langkah di atas kita bisa melihat bahwa peran penguasa sangat kurang. Rakyat seakan dibiarkan sendiri tanpa tahu harus berbuat apa. Kaum muslimin seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Maka, mari kembali kepada hukum Islam, agar dampak pandemi Covid-19 tidak semakin parah. Dunia pun bisa kembali normal sebagaimana sebelum adanya virus. Tentu kita merindukan hari itu, bukan?
[ra/LM]