Perkosaan terhadap Istri, Ancaman Penjara Menanti
Oleh: Sari Mariana, drg
(Pengasuh Kajian Keluarga Samara, Malang)
Lensa Media News- Pembahasan Marital Rape atau perkosaan dalam pernikahan menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat. Sejumlah pasal menuai kontroversi. Dalam Pasal 479 RKUHP disebutkan bahwa setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dapat dipidana paling lama 12 tahun. Tindak pidana perkosaan itu, antara lain perbuatan persetubuhan dengan cara kekerasan memaksa seseorang karena orang tersebut percaya bahwa orang yang disetubuhinya itu merupakan suami/istrinya yang sah.
Direktur Institut Sarinah Eva Kusuma Sundari, setuju pasal terkait pemerkosaan terhadap istri atau suami masuk dalam RUKHP. “Norma demikian (kriminalisasi perkosaan dalam rumah tangga) sudah dipraktikkan di banyak negara,” kata Eva Kusuma Sundari kepada Antara. Eva berpendapat bahwa penyusunan RUU KUHP benar dan komprehensif akan membantu UU yang lex specialis agar tidak dobel dan tidak memberi ruang yang malah menyebabkan ketidakadilan terhadap korban, baik anak-anak, perempuan, maupun laki-laki. Aktivis feminis kemudian menyuarakan agar segera membuat disahkan. Benarkah ini sebuah solusi?
Konsep pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape), tidak ada di dalam Islam. Dalam konsep marital rape, hubungan seksual di antara suami istri harus karena keinginan keduanya, bukan karena hal tersebut adalah kewajiban istri kepada suami. Ini artinya, jika istri sedang tak ingin melayani suami, maka ia tak wajib melayani. Jika dipaksa, maka ini adalah bentuk pemerkosaan. Jelas konsep ini bertentangan dengan Islam. Islam mewajibkan istri untuk taat kepada suami. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam kitabnya An-Nizham al-Ijtimaa’iy fi al-Islam, bahwa taat dan melayani suami adalah kewajiban istri sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
“Jika seorang istri tidur malam meninggalkan tempat tidur suaminya, niscaya para malaikat akan melaknatnya sampai ia kembali.” (Muttafaq ‘alaih dari jalur Abu Hurairah)
Rasulullah Saw. pernah bertanya kepada seorang wanita, “Apakah engkau sudah bersuami?” Wanita itu menjawab, “ya.” Beliau lantas bersabda, “Sesungguhnya ia (suamimu) adalah surga atau nerakamu.” (HR Al–Haakim dari jalur bibinya Husain bin Mihshin)
Konsep marital rape adalah produk pemikiran feminisme yang lahir dari rahim sekularisme liberalisme, paham yang membuang jauh aturan agama dari kehidupan dan mengajarkan kebebasan dalam segala hal. Jika diterapka jelas akan merusak institusi pernikahan. Bagaimana suami yang dibolehkan oleh syara’ bahkan mendapat pahala besar disebut perkosaan. Ini menyamakan pernikahan sama dengan perkosaan. Bahkan di dalam Islam perkosaan mendapatkan hukuman yang sangat besar.
Ide feminisme tak pernah lelah menyerang syariat Islam dengan tuduhan membelenggu kebebasan perempuan dan menciptakan berbagai macam penderitaan bagi perempuan. Syariat tentang kewajiban istri mereka serang, syariat tentang kepemimpinan suami, syariat tentang nusyuz dan masih banyak lagi syariat Islam lainnya yang juga diserang. Semua syariat dianggap sebagai biang penderitaan perempuan.
Padahal, justru sebaliknya, berbagai problem akut menimpa perempuan hari ini karena terseret tipu daya feminisme. Mulai dari kegagalan dalam berkeluarga, kemiskinan perempuan, kekerasan yang tiada hentinya, dan sebagainya. Solusi yang diberikan oleh feminisme sama sekali tak menyelesaikan masalah perempuan. Lihatlah, RUU KUHP yang menetapkan bahwa suami yang diadukan oleh istri akan dikenakan hukuman penjara maksimal 12 tahun. Jika suami dipenjara, siapa yang akan menanggung nafkah keluarga? Siapa yang akan melindungi dan menjaga keluarga?
Akhirnya, istri yang akan melakukan semuanya sendirian, baik mencari nafkah, mengurus rumah, mendidik dan membesarkan anak, dan seterusnya. Bukankah ini sebuah tindak kezaliman? Demikianlah ketika hukum dibuat oleh manusia, tak akan pernah tuntas menyelesaikan masalah. Ini tentu akan menimbulkan masalah baru. Hukum buatan manusia tidak akan menimbulkan ketentraman. Lalu, akankah kita tetap mempertahankan aturan yang rusak ini? Tidakkah kita ingin aturan yang Paling Baik dari Zat Yang Maha Baik, Pencipta dan Pengatur manusia? Wallahu a’ lam bish showab. [LM/Mi]