Sistem Cacat, Salah Kaprah Maknai Kemanusiaan
Oleh: Yuke Ocavian
(Pegiat Literasi Dakwah)
Lensa Media News – Belum lama, santer kabar tentang penyelamatan muslim Rohingya yang terdampar di perairan Aceh. Namun, anehnya, tiga nelayan Aceh yang menyelamatkan pengungsi Rohingya divonis 5 tahun penjara. Hakim memastikan bahwa ketiga nelayan telah melanggar Pasal 120 ayat (1) Undang – Undang No.6 tahun 2011 tentang Keimigrasian Juncto pasal 55 KUH pidana. (iNewsAceh.id, 17/6/2021)
Sontak tragedi ini membuat beberapa pihak geram. Orang nolongin kok malah dihukum. Fadli Zon, anggota DPR, mengecam vonis hukuman tersebut. Seharusnya para nelayan ini mendapatkan penghargaan kemanusiaan, karena telah menolong puluhan pengungsi Rohingya yang terdampar. Demikian cuitannya dalam akun @fadlizon, Kamis, 17/6/2021.
Heran, satu kata yang diungkapkan banyak pihak. Alih-alih menolong sesama manusia, tapi malah dijerat pasal keimigrasian. Krisis “kasih sayang” sudah mulai ditampakkan oleh penguasa negeri. Standar ganda pun disajikan agar mem”blur“kan pandangan masyarakat tentang patokan baik dan buruk suatu perbuatan. Benar-benar salah kaprah. Saat sesama manusia membutuhkan pertolongan, bukannya kita sebagai manusia (juga), seharusnya segera bertindak.
Sistem demokrasi-kapitalisme telah salah kaprah dalam memaknai arti kemanusiaan. Semua dihitung berdasarkan nilai untung rugi. Semuanya dihitung berdasarkan nilai materi yang dapat dihasilkan. Masyarakat Rohingya yang notabene muslim, dipandang sebelah mata oleh para penguasa negeri. Saat penduduk negeri kita menolong sesama muslim (baca: Rohingya), dipandang sama sekali tak menghasilkan keuntungan bagi negeri. Berbeda dengan masuknya WNA asing yang berhamburan dengan “aman”. Beda cerita, karena mereka dinilai dapat meningkatkan devisa negara. Sungguh standar yang mengenaskan.
Sistem kacau yang dipelihara negeri ini sungguh luar biasa memilukan. Bukankah syariat Islam telah mengatur tentang sikap kita pada sesama muslim dan pada orang kafir?
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَنْ يَّرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْـنِهٖ فَسَوْفَ يَأْتِى اللّٰهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهٗۤ ۙ اَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الْكٰفِرِيْنَ ۖ يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَا فُوْنَ لَوْمَةَ لَآ ئِمٍ ۗ ذٰلِكَ فَضْلُ اللّٰهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَّشَآءُ ۗ وَا للّٰهُ وَا سِعٌ عَلِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 54)
Standar perbuatan baik buruk atau salah benar suatu perbuatan sudah diatur dengan jelas dalam syariat Islam. Bukan berdasar pada sistem buatan siapapun, termasuk sistem demokrasi-kapitalisme yang nyata-nyata bobrok keberadaannya. Islam-lah satu-satunya sistem shahih yang mengatur seluruh urusan manusia. Tak ada cacat, sempurna dan menyempurnakan. Kaamilan. Syaamilan.
Wallahua’lam bisshowwab.
[LM]