Komisaris BUMN, Antara Kompetensi dan Balas Budi

Oleh: Ulfah Sari Sakti ,S.Pi

(Jurnalis Muslimah Kendari)

 

Lensa Media News – Pro dan kontra dari masyarakat mewarnai pengangkatan Gitaris Slank, Abdee menjadi Komisaris PT Telkom Indonesia. Masyarakat menilai boleh-boleh saja sang gitaris menjadi komisaris, asalkan memiliki latar belakang pengusaha dan sebagainya yang berhubungan dengan korporasi.

Meskipun demikian, pemerintah tetap berusaha meyakinkan masyarakat tentang kelayakan Abdee Slank menduduki jabatan barunya. Seperti yang diungkapkan Juru Bicara Presiden Joko Widodo (Jokowi), Fadjroel Rachman. Dirinya menilai penunjukan Abdi Negara atau Abdee Slank menjadi Komisaris PT Telkom Indonesia merupakan keputusan tepat. Fadjroel mengatakan penunjukan Abdee sudah sesuai rekam jejak. “Sangat tepat, sesuai dengan jejak profesionalitas Abdee,” kata Fadjroel Rachman lewat pesan singkat, Minggu (30/5/2021).

Sebelumnya, Ketua DPP PKS, Bukhori Yusuf menyebut penempatan Abdee Slank sebagai komisaris hanya akan merugikan Telkom karena latar belakang profesinya yang tidak sesuai. “Ini jelas merugikan Telkom, karena tidak sesuai dengan profesi yang dijabatnya sebagai komisaris dan jika Telkom dirugikan, negara yang akan dirugikan,” kata Bukhori.

Bukhori lantas menyinggung orang yang selama ini berada di balik pemenangan Jokowi di Pilpres 2019 kerap mendapat posisi. Dia menilai hal itu akan merusak tatanan pemerintahan. (detiknews.com/30/5/2021)

Latar belakang Komisaris BUMN era pemerintahan Jokowi, ada yang memiliki latar belakang sebagai profesional, ada juga yang berasal dari Politikus, tim sukses hingga orang dari organisasi keagamaan.

Berdasarkan catatan detik.com yang dikutip, Sabtu (29/5/2021), setidaknya lebih dari 20 orang relawan hingga tim sukses serta orang lembaga keagamaan yang masuk dalam jajaran komisaris BUMN, diantaranya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), M Arief Rosyid Hasan, dan Rizal Ramli .

 

Demokrasi-Oligarki Lahirkan Politik Balas Budi

Politik balas budi yang lahir dari sistem demokrasi-Oligarki merupakan hal yang pasti akan terjadi mengingat pada sistem demokrasi, hukum yang digunakan merupakan buah pikiran manusia, sehingga istilah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat hanya sekadar slogan saja. Tengok saja dari masa ke masa, bagaimana rezim yang memimpin berusaha mengokohkan kekuasaannya dengan menempatkan orang-orang terdekatnya pada pemerintahan, sebelum masa jabatan mereka berakhir.

Berbeda dengan itu, sistem Islam mengatur kehidupan umatnya dengan hukum Allah swt (Al Quran dan As Sunnah), sehingga tidak terbersit sedikit pun di pikiran para pemimpin untuk mengeksiskan kekuasaannya pasca masa jabatan, karena yang ada dalam pemikiran mereka bagaimana mengemban tugas yang diberikan dengan amanah dan ikhlas, guna kesejahteraan umat dan keselamatan dirinya serta masyarakat yang dipimpinnya di akhirat kelak.

Lebih detail, agar birokrasi terhindar dari Oligarki maka pemerintahan Islam menerapkan hukum syariah (ahkam syar’iyyah) dan hukum administrasi (ahkam ijra’iyyah). Hal ini merupakan langkah efektif mencegah elite politik menjalankan oligarki di pemerintahan.

Mengingat hukum yang diterapkan pada sistem Demokrasi-Oligarki berasal dari pemikiran manusia, maka kebijakan yang diambil pun sesuai dengan kepentingan tertentu. Jika sudah begini, tunggu saja kehancuran pada masyarakat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu” (HR Al Bukhari).

Sebaliknya pada sistem Islam, hukum yang diterapkan berdasarkan hukum Allah swt, maka ketakwaan individu umat terjaga, sehingga tidak ada tindakan yang melanggar syariat, karena segala tindakan umatlah semata-mata untuk mencari rida Al swt.

Perbedaan sistem Demokrasi-Islam dalam mengatur urusan umat, tentunya menjadi pertimbangan tersendiri bagi umat untuk tetap mempertahankan sistem Demokrasi saat ini, atau menggantinya dengan sistem Islam. Semoga tidak lama lagi, sistem Islam kembali tegak.

Wallahu’alam bishowab.

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis