Nasib Sekolah Swasta Alit Terancam Pailit
Oleh: Irma Sari Rahayu, S.Pi
Lensa Media News – Tahun ajaran baru sudah di depan mata. Segala persiapan kegiatan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2021/2022 dilakukan sekolah, baik sekolah negeri maupun swasta. Orang tua pun tak kalah sibuknya mencari sekolah terbaik bagi anak-anak mereka.
Di Bekasi, minat orang tua dalam menyekolahkan anak di sekolah swasta elit sangat tinggi. Hal ini ditandai dengan cepat terisinya kuota yang tersedia, padahal pendaftaran baru dibuka akhir bulan lalu. Namun, berbanding terbalik dengan sekolah swasta alit (sekolah swasta biasa), kuotanya masih kosong.
Kondisi ini disampaikan oleh Sekretaris Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kota Bekasi, Ayung Sardi Dauly yang mengatakan bahwa berdasarkan hasil pantauan BMPS, kuota sekolah swasta elit sudah terisi 80 persen, sedangkan swasta alit baru 10 persen (Radarbekasi.id, 21/5/2020).
Ayung menambahkan, sekolah elit adalah sekolah komunitas dan dipilih orang tua yang tidak memilih sekolah negeri untuk studi anak-anak mereka. Sedangkan sekolah alit baru akan terisi setelah pengumuman sekolah negeri. Artinya, sekolah alit baru menjadi pilihan orang tua setelah anak mereka tidak diterima di sekolah negeri.
Sekolah Swasta dalam Pusaran Kapitalisasi Pendidikan
Kemunculan sekolah-sekolah swasta menjadi fenomena menarik dalam dunia pendidikan. Kurangnya daya tampung sekolah negeri ditengarai sebagai penyebab berdirinya sekolah swasta pada awalnya. Namun, seiring perkembangan zaman, munculnya sekolah swasta terutama sekolah-sekolah berbasis Islam adalah untuk menjawab keresahan publik akan minimnya pelajaran agama dan kualitas pengajaran yang diberikan sekolah negeri.
Berbagai persoalan dunia pendidikan akhirnya ditangkap sebagai sebuah peluang bisnis yang menggiurkan bagi pemilik modal. Dunia pendidikan pun akhirnya tak lepas dari jerat kapitalisasi dan liberalisasi. Sekolah-sekolah elit bermunculan dengan menawarkan berbagai fasilitas terbaik mulai dari program (kurikulum) plus, pengajar yang profesional, sarana dan prasarana yang lengkap dan berkualitas hingga ekstrakurikuler yang menarik.
Ada rupa ada harga. Sebuah ungkapan yang lazim beredar dalam mengukur sebuah kualitas barang dengan harga yang ditawarkan. Sebuah barang dengan kualitas premium akan berharga mahal dibandingkan barang kualitas biasa. Ungkapan ini pun berlaku dalam dunia pendidikan. Semakin bagus kualitas sekolah, maka biaya yang harus dikeluarkan orang tua pun semakin mahal. Alhasil persaingan antar sekolah elit pun tak terelakkan.
Kondisi memprihatinkan justru harus dialami oleh sekolah swasta alit. Keberadaan sekolah ini seolah-olah sebagai “tempat penampungan” siswa yang tidak diterima di sekolah negeri. Dengan kata lain, sekolah alit hanya sebagai alternatif terakhir yang “terpaksa” dimasuki daripada tidak sekolah sama sekali. Fasilitas sekolah yang ditawarkan pun tidak selengkap sekolah elit hingga kurang diminati. Dalam persaingan antar sekolah swasta, sekolah alit terancam pailit. Hal ini pun diakui oleh BMPS yang memprediksi pada tahun ini akan ada sekolah yang terpaksa tutup karena sejak beberapa tahun selalu kekurangan siswa baru.
Inilah potret buram dunia pendidikan kita saat ini. Liberalisasi telah menempatkan pendidikan layaknya komoditas. Disaat yang sama, negara berlepas tangan dalam menyediakan pendidikan bermutu bagi rakyat. Pendidikan seolah bukan menjadi prioritas program kerja negara. Betapa banyak gedung-gedung sekolah yang nyaris ambruk, namun belum tertangani. Pendidikan bermutu pun akhirnya hanya bisa dikecap kaum berduit. Bagi yang tak punya, maka cukup puas dengan fasilitas apa adanya. Sungguh ironis!
Islam menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi oleh negara. Kewajiban ini dalam rangka memenuhi hadis Nabi SAW.: “Menuntut ilmu wajib atas setiap muslim” (HR. Ibnu Majah). Negara berperan penting dalam menyiapkan berbagai sarana dan fasilitas penunjang demi terlaksananya kewajiban tersebut, mulai dari penyediaan gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, buku-buku hingga guru yang profesional dan kompeten. Kurikulum disusun berasaskan akidah Islam yang dipadukan dengan ilmu, teknologi dan keterampilan.
Pendidikan diselenggarakan oleh negara secara gratis dan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, baik kaya maupun miskin, muslim ataupun non muslim. Namun demikian, Khalifah tidak melarang jika ada individu rakyat yang akan mendirikan sekolah atau lembaga pendidikan, asalkan kurikulum tetap mengadopsi kurikulum pendidikan negara.
Inilah bentuk ri’ayah (pengurusan) negara dalam memenuhi pendidikan bermutu bagi rakyatnya. Kondisi ini tak akan didapatkan dalam sistem pendidikan dalam lingkaran kapitalis. Kondisi ideal ini hanya dapat terwujud dalam sistem pendidikan Islam dengan Khilafah sebagai penyelenggaranya. Dan akan kembali terwujud dalam waktu yang tak akan lama lagi. Insya Allah.
[lnr/LM]