Tes Wawasan Kebangsaan Cermin Kredibilitas KPK?
Oleh: Ummu Sansan
(Komunitas Pena Cendekia)
Lensa Media News – Absurd. Penilaian ini disampaikan oleh Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Harun Al Rasyid tentang tes wawasan kebangsaan (TWK). Tes ini bagian dari proses alih status pegawai KPK menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara). Harun sendiri merupakan Kasatgas Penyelidikan dalam operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat bersama Bareskrim Polri baru-baru ini. Namun, dia merupakan salah satu dari 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat atau tidak lolos TWK. (amp.kompas.com/14/5/2021).
Dalam TWK muncul beberapa pertanyaan yang tidak relevan dengan korupsi bahkan ditengarai mengandung unsur radikalisme. Pertanyaan yang muncul antara lain salat baca qunut atau tidak, bersedia lepas jilbab tidak, pertanyaan seputar LGBT, seks bebas dan sebagainya. Beberapa pihak menilai pertanyaan TWK janggal dan tidak layak ditujukan pada mereka yang telah bekerja dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Apalagi dari 75 orang yang tidak lolos itu justru dikenal sebagai orang-orang yang berintegritas. Selain Harun, Novel Baswedan juga termasuk dalam 75 orang yang akan dinonaktifkan. Selain itu peralihan status kepegawaian KPK menjadi ASN memunculkan peluang berkurangnya independensi dan integritasnya.
Sepak terjang KPK telah banyak mengungkap kasus tikus berdasi. Namun, kasusnya bukan berkurang melainkan terus bertambah. Apatah kinerja KPK yang makin baik atau korupsi telah menjadi budaya kerja yang sulit dibasmi. Yang jelas posisi korupsi Indonesia tak kunjung membaik. CPI (corruption perception index) yang dirilis Transparency International Indonesia (TII) menempatkan Indonesia tahun 2020 pada skor 37 dengan ranking 102 dari 180 negara. Turun dibandingkan tahun 2019 lalu yang berada pada skor 40 dan ranking 85. Skor CPI berada pada skala 0-100. Adapun skor 0 sangat korup dan skor 100 sangat bersih. (amp.kompas.com/28/1/2021).
Data tersebut menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi perhatian untuk dibasmi. Sejatinya harus dibasmi hingga ke akar penyebabnya. Selama akar penyebab masih menancap kuat, seberapa banyak kasus korupsi diungkap niscaya jumlah tak berkurang. Apalagi hukum yang ditimpakan pada pelaku korupsi tidak berat dan menjerakan.
Pada UU Tipikor, tindak pidana korupsi dibagi dua, yakni yang berkelindan dengan kerugian negara, yakni Pasal 2 dan 3 dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara atau seumur hidup. Sedangkan tindak pidana korupsi terkait suap diatur di Pasal 5 dan 11 dengan hukuman maksimal 5 tahun penjara. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat rata-rata vonis yang diberikan oleh para koruptor hanya tiga tahun. Hal itu didapat dari data yang diperoleh selama kurun waktu Januari-Juni 2020 atau satu semester. Sungguh hukuman yang ringan.
Memang kekayaan pejabat negara perlu diketahui dengan pasti agar jika di akhir masa jabatan ada kenaikan yang tidak wajar akan diketahui. Juga apakah kekayaan yang bertambah karena melakukan praktek korupsi atau tidak. Apalagi dalam sistem demokrasi yang mahal ini, butuh modal besar untuk duduk di kursi eksekutif atau legislatif. Setelah duduk dalam kursi eksekutif atau legislatif inilah terjadi peluang praktek korupsi agar balik modal. Demikianlah sistem demokrasi akan tumbuh subur dalam sistem kapitalisme sekularisme yang berasaskan manfaat. Inilah sejatinya akar persoalan korupsi.
Di samping itu, pemberantasan korupsi dan hukuman yang dijatuhkan semua aturannya berasal dari hukum buatan manusia. Padahal manusia tidak mampu membuat aturan dan hukum yang adil dan solutif. Terbukti dari aturan dan hukum korupsi di negeri ini dibuat manusia, ternyata tidak mampu menghentikan praktek korupsi yang kronis ini.
Hanya aturan dan sistem dari Allah SWT saja yang mampu mengatasi korupsi. Karena Allah sebagai pencipta dan pembuat aturan, Maha Mengetahui yang terbaik untuk ciptaan-Nya. Korupsi merupakan tindakan yang dilarang dalam aturan Allah SWT, maka jika tetap melakukan niscaya ada hukuman yang pantas bagi para koruptor. Hukuman itu berupa ta’zir, yang sepenuhnya ditetapkan oleh qadli (hakim). Namun, pejabat dalam sistem yang menerapkan Islam secara kaffah paham betul bahwa jabatan bukanlah sarana untuk memperoleh kekayaan. Jabatan merupakan amanah. Tidak akan berlomba-lomba memperebutkannya karena dilarang dalam Islam.
Penghitungan kekayaan pejabat negara juga dilakukan. Peringatan akan diberikan jika kekayaan berlipat ditemukan. Namun, pejabat mendapat santunan dan kecukupan akan kebutuhannya. Negara tidak akan membiarkannya dalam kondisi kekurangan saat menduduki jabatannya. Meski para pejabat lebih memilih hidup zuhud karena kehati-hatian mereka dari mengambil harta yang bukan haknya. Demikianlah landasan keimanan yang kokoh menjadi modal sebagai pejabat di samping kemampuan dan kompetensinya. Karenanya korupsi mampu dibasmi, bahkan ketika masih dalam rancangan angan dan belum direalisasi.
Wallahu a’lam bisshowab.
[ra/LM]