Momen Hardiknas: Program Terus Berubah, Butuh Formula Pamungkas

Oleh: Anita Rachman
(Muslimah Peduli Peradaban) 

 

Lensa Media News – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memaparkan akan melanjutkan transformasi pendidikan dan pemajuan kebudayaan melalui Program Merdeka Belajar di tahun 2021. Sebelumnya, sepanjang tahun 2020 Kemendikbud telah menghadirkan terobosan Merdeka Belajar episode pertama hingga episode keenam (Kompas.com,/06/01/2021).

Masih dari kompas.com, Program Merdeka Belajar 2021 akan berfokus pada delapan prioritas, diantaranya, program Kartu Indonesia Pintar (KIP), digitalisasi sekolah, prestasi dan penguatan karakter, guru penggerak, kurikulum baru, revitalisasi pendidikan vokasi, kampus merdeka, dan pemajuan kebudayaan dan bahasa.

Bagaimana penjabaran program-program tersebut tentu perlu pembahasan tersendiri. Namun, esensi dari serangkaian program itu tidak lain adalah bagaimana agar aktivitas menuntut ilmu (sekolah) membuahkan hasil maksimal. Hasil yang seperti apa? Inilah yang kemudian bisa berbeda, tergantung pemahaman masing-masing.

Mengapa kita harus sekolah? Supaya pintar? Untuk mencari kerja, supaya dapat uang untuk makan? Supaya sukses membangun bisnis? Atau, kalau tidak sekolah nanti diremehin? Lantas, bagaimana jika sudah sekolah tapi ternyata tidak pintar? Cari kerja tetap susah? Bangun bisnis malah krisis? Dan tetap saja diremehkan? Faktanya, tidak sedikit orang yang cerdas tanpa harus sekolah. Banyak yang sukses bekerja tanpa modal ijazah. Pengusaha yang sukses merintis bisnis secara otodidak pun bertebaran.

Lalu dimana letak permasalahannya? Apakah pada program-programnya, sehingga diperlukan perubahan regulasi, bahkan setiap berganti menteri? Bukankah selama negeri ini merdeka telah sekian kali dilakukan penyusunan program, formula, konsep, metode, inovasi dan lain-lain? Namun, mengapa belum juga mampu menuntaskan permasalahan yang muncul?

Apa permasalahan utama dunia pendidikan? Saat angka pengangguran dan kemiskinan tinggi, maka sekolah dianggap gagal melahirkan lulusan yang mampu bersaing dalam dunia kerja. Dikala kriminalitas, kenakalan remaja dan kerusakan moral merajalela, lembaga pendidikan dinilai tidak mampu mencetak generasi berkepribadian luhur dan mulia. Benarkan demikian?

Sekolah adalah salah satu sarana dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, sekolah hanyalah bagian hilir yang menerapkan konsep dari hulu. Sekolah adalah teknis, bukan konsep dasar atau pondasi. Jadi selama yang diubah, diolah, dirumuskan hanya pada tataran teknisnya saja (bagian hilir), tanpa menyentuh pondasi utama, yaitu sistem yang menaungi (hulu), maka hasilnya pun akan tetap sama.

Apa saja konsep dasar yang bisa digunakan sebagai pondasi dalam sistem pendidikan? Sebelumnya perlu diketahui, hanya ada tiga sistem (hulu) di dunia ini, yaitu sosialisme, sekularisme, dan Islam.

Saat konsep sosialisme yang dipilih, maka turunan programnya tidak jauh dari pemahaman kaum sosialis. Mereka tidak percaya adanya Tuhan, hingga meyakini bahwa semua manusia, alam semesta dan kehidupan berasal dari materi. Maka hidupnya pun hanya berfokus pada pencarian materi dan materi. Kemudian setelah mati mereka akan kembali menjadi materi, tanpa ada bahasan akhirat, surga dan neraka.

Sementara itu, jika pondasinya sekularisme, maka program-program yang dilahirkan adalah turunan dari pemahaman tersebut. Yaitu memisahkan agama dari kehidupan secara keseluruhan. Ketika salat, akan mengikuti bagaimana Rasulullah salat. Tapi saat berinteraksi dengan lawan jenis, menggunakan aturan sendiri, yang penting sopan. Saat berpuasa, tidak akan ada yang berani menyelisihi rukun-rukunnya. Tapi dalam hal bekerja, obsesinya adalah meraih apapun dan melakukan apapun, yang penting baik.

Itulah sekularisme. Standar kebenarannya adalah manusia yang cenderung subyektif dan menuruti hawa nafsu. Tidak boleh ada sekolah yang mewajibkan menutup aurat bagi muslimah, karena itu dianggap pemaksaan dan melanggar hak asasi. Tidak ada aturan bagaimana berinteraksi dengan lawan jenis, bahkan pacaran sudah menjadi budaya. Tidak ada jaminan pekerjaan halal, karena semua dikembalikan kepada individu masing-masing. Bahkan perbankan, bursa saham dan sejenisnya, yang jelas mengandung riba, menjadi salah satu yang diburu.

Sekularisme mengakui adanya Tuhan, yakin pula akan adanya hari akhir. Paham bahwa hidupnya untuk beribadah, namun, ibadahnya dimaknai secara sempit. Yaitu sebatas salat, puasa, zakat, haji, sedekah, haji dan ibadah ritual lainnya. Sementara sekolah, bekerja, bukanlah ibadah, jadi tidak perlu menggunakan aturan agama. Sekolah dan kemudian bekerjanya lebih untuk mengejar dunia. Tolok ukur kesuksesan pun dilihat dari jabatan, gaji, harta, atau prestasi akademis yang diraih. Tidak peduli apakah ada kemaksiatan atau keharaman yang dilanggar selama proses mengejar kesuksesan tadi.

Maka, lembaga pendidikan dalam sistem sekuler hanya berperan sebagai fasilitator pencetak pekerja, bukan pemikir. Menggiring mereka terjebak jam kerja dan gaji bulanan yang dipatok berdasar ijazah, UMR dan UMP. Hari-harinya sekedar menjalani rutinitas demi menyambung hidup. Alih-alih memikirkan umat dan masa depan peradaban, semua sibuk pada kebutuhan dan kepentingan pribadi, keluarga dan atau kelompoknya.

Berbeda jika konsep dasar yang dipilih adalah Islam. Di dalam Islam, pendidikan bertujuan mencetak manusia beriman dan bertakwa. Akidah ditanamkan kuat dan kokoh sejak dini, hingga setiap individu selalu merasa terikat dengan aturan-aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Salatnya, sekolahnya, bekerjanya, semua dalam rangka beribadah kepada Allah.

Lembaga pendidikan menyusun setiap program dan kebijakannya berdasarkan syariat Islam. Halal haram benar-benar diperhitungkan, Al Quran dan As Sunnah menjadi pegangan. Harapannya akan lahir cendekiawan-cendekiawan Muslim yang mendedikasikan ilmunya, hartanya, kedudukannya, hidupnya untuk umat dan Islam. Motivasinya bukan materi atau dunia, tapi pahala, rida Allah dan surga. Tolok ukur sukses tidak dihitung dengan angka, tapi dari nilai takwa.

Masihkah kita bertahan dengan sistem pendidikan hari ini? Ataukah mau beralih kepada sistem yang paripurna, yaitu Islam?.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis