Berantas Tuntas Korupsi dengan Sanksi Tegas

Oleh: Ita Mumtaz

 

Lensa Media News – Korupsi, makin diberantas semakin menjadi. Mengapa meski sudah ada badan pemberantas korupsi, tapi kelakuan hina itu tak juga berhenti? Bahkan para tikus berdasi tak malu-malu menampakkan wajah senyum berseri. Seolah dirinya suci tanpa dosa berarti.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Menpan RB) Tjahjo Kumolo menyampaikan bahwa masih banyak PNS atau ASN yang terjerat korupsi. Tjahjo pun menyatakan bahwa setiap bulan Kemenpan RB memecat secara tidak hormat para PNS yang korup, yakni hampir 20 hingga 30 persen. (Merdeka.com, 18/04/2021).

Kasus korupsi sesungguhnya tak sekadar problem penurunan akhlak individu. Namun lebih dari itu, karena faktor sistemik. Tak heran jika angka kasusnya semakin tinggi. Sistem Kapitalisme yang merajai dunia, telah merangsak masuk ke benak kaum muslimin. Kehidupan sekuler dan kebebasan sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat di negeri ini. Standar tingkah laku tak lagi halal atau haram. Parameter kebahagiaan bukan rida Allah, namun materi sebanyak-banyaknya.

Dengan demikian, segala cara akan ditempuhnya demi mendapatkan limpahan materi. Korupsi dengan mudahnya dilakukan tanpa merasa diawasi oleh Allah Swt. Disangka Allah hanya menghisap ibadah shalat, tilawah, puasanya saja. Sehingga sering kita dapati, seorang koruptor yang berlatar belakang agamis, tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu, namun tidak takut ketika melakukan korupsi.

Pegawai negeri yang merupakan abdi negara, pengayom umat, teladan bagi rakyat, justru malah berbuat kejahatan, mengambil kesempatan di antara amanahnya sebagai pelayan umat. Jika seorang itu tidak amanah, maka pantaslah disebut pengkhianat. Lalu hukuman apa yang pantas diberikan kepada penghianat umat, pencuri uang rakyat?

Jika rakyat miskin yang kelaparan akibat penerapan ekonomi kapitalis harus diadili dan dijebloskan ke penjara ketika kedapatan mencuri, sebaliknya koruptor kelas kakap di negeri ini seringkali lolos dari jerat hukum. Padahal kerugian yang dialami negara sangat besar. Jumlah harta yang diembat hingga triliunan rupiah.

Kalaupun terkena sanksi, maka hukuman yang didapatkan cukup ringan, tidak sebanding dengan kejahatan yang telah dilakukan. Sehingga wajar jika para koruptor tidak kapok untuk melakukan korupsi. Selalu ada kasus baru, karena harta yang didapat sangat menggiurkan, sedangkan sanksi yang harus dijalani tidak begitu berat. Bahkan seringkali mantan narapidana korupsi dianugerahi gelar doktor. Sungguh sangat mengecewakan sekaligus memuakkan. Inilah salah satu ketidakadilan yang dipertontonkan oleh sistem peradilan di negeri demokrasi kapitalis.

 

Tegasnya Sistem Sanksi dalam Islam

Tidak ada ruang dalam sistem Islam untuk praktik korupsi. Karena suasana kehidupan Islam akan menghasilkan ketakwaan individu. Standar tingkah laku masyarakat muslim adalah halal haram, sedangkan rida Allah menjadi
sumber kabahagiaan mereka.

Dengan demikian tidak akan kasus pencurian atau perampasan hak milik terhadap orang lain, termasuk korupsi. Apalagi seorang pegawai pemerintahan, mereka adalah abdi negara yang memiliki kawajiban untuk menjalankan amanah negara, termasuk dana milik rakyat. Negara pun telah menggaji pegawainya dengan jumlah yang layak agar bisa fokus mengurusi pekerjaannya.

Upaya pencegahan korupsi secara optimal diusahakan. Segala bentuk peluang dan kesempatan ditutup rapat-rapat karena menyadari bahwa manusia adalah tempat khilaf dan dosa. Namun, apabila tindak korupsi terlanjur terjadi, maka negara akan menjatuhkan sanksi yang sangat tegas dan berat. Yakni mulai dari penyitaan harta, stigmatisasi di tengah publik, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati.

Dalam sistem Islam, calon pejabat/pegawai negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum menjabat. Selanjutnya saat menjabat pun selalu dihitung dan dicatat harta kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang meragukan, maka diverifikasi apakah penambahan hartanya secara syar’i atau tidak. Jika terbukti dia melakukan kecurangan/korupsi, maka harta akan disita, dimasukkan kas negara dan pejabat/pegawai tersebut akan diproses hukum. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab.

Sanksi yang diberlakukan oleh negara Islam memiliki fungsi jawabir sekaligus zawajir. Jawabir atau penebus dimaksudkan untuk menebus sanksi di akhirat. Jika sudah diberi sanksi di dunia oleh Khalifah, maka akan menggugurkan hukuman akhirat. Sedangkan Zawajir adalah sebagai pencegah. Jadi ketika orang mengetahui betapa beratnya hukuman untuk koruptor, maka pasti yang lain akan ciut nyali untuk melakukan hal yang sama.

Demikianlah, uqubat atau sistem sanksi akan mencegah orang-orang melakukan kejahatan. Islam memang sebuah sistem yang sempurna. Kejahatan korupsi yang begitu sulit dikendalikan dalam negara kapitalis demokrasi bisa diselesaikan dengan sistem sanksi efektif yang dimiliki Islam. Wallahu a’lam bish-shawwab. 

Please follow and like us:

Tentang Penulis