Sujud Freestyle, Hilangkan Makna Salat

Oleh: Ika Misfat Isdiana

 

Lensa Media News – Belakangan viral gerakan sujud Freestyle di sosial media. Dimana anak-anak melakukan gerakan sujud dengan kedua kaki diangkat keatas. Parahnya gerakan tersebut dilakukan saat salat di dalam masjid saat salat tarawih berjamaah.

Fenomena viralnya emote Push Up Freestyle saat ibadah ini bermula ketika Garena (Permainan battle royale yang dikembangkan oleh 111 Dots Studio dan diterbitkan oleh Garena untuk Android dan iOS). Menjadi permainan seluler yang paling banyak diunduh secara global pada tahun 2019, kini menghadirkan emote Push Up Freestyle Free Fire yang memperlihatkan posisi push up, tapi dengan kedua kaki vertikal ke atas.

Saat itu, Garena Free Fire Indonesia memang memberikan tulisan bernada cukup provokatif: ”Lakukan Push Up dimana saja, kapan saja”. Mirisnya, hal tersebut dimaknai berbeda oleh para pemain Free Fire yang sebagian besar adalah anak-anak. Banyak yang melakukan emote Push Up Freestyle saat beribadah di masjid, dan sengaja memvideokannya agar menjadi viral di media sosial.

Walaupun tim Garena Free Fire Indonesia (@freefirebgid) telah mengklarifikasi aksi beberapa oknum yang menirukan emote Push Up Freestyle saat sedang melaksanakan ibadah. Dan mengimbau agar tidak menirukan emote tersebut saat ibadah. Namun efek aksi sensasional tersebut masih mewabah ditengah tengah remaja.

Sujud Freestyle, Tren Kebablasan

Banyak pihak menyayangkan adanya aksi tersebut, Ketua Majelis Dakwah dan Pendidikan Islam (Madani) Ainul Yaqin menanggapi serius dan menyampaikan keprihatinannya terhadap aksi “sujud freestyle” Free Fire. Menurutnya sujud merupakan bagian rukun gerakan sholat yang bermakna merendahkan dan menghambakan diri kepada Allah (sindonews.com, 27/4 2021).

Sementara Wakil Ketua MUI Anwar Abbas menghimbau agar anak yang melakukan aksi tersebut dinasehati dengan baik-baik. Seperti teladan Rasulullah saat menasehati cucunya. Hasan dan Husein ketika menaiki punggung beliau saat salat (detiknews.com,25/4/2021).

Dalam iklim demokrasi saat ini, memang ide kebebasan begitu diagungkan. Termasuk dalam berkeyakinan dan berekspresi. Padahal ide tersebut telah terbukti merusak sendi-sendi keyakinan beragama umat manusia. Khususnya Islam. Remaja yang seharusnya berkontribusi positif dalam mengembangkan agama Islam menjadi teracuni pikirannya. Hal ini tentu membutuhkan penanganan yang serius dari semua pihak. Agar, remaja yang merupakan aset masa depan kembali dalam fitrahnya. Menjadi punggung peradaban, penopang sejarah bangsa. Yang tentunya berakhlak mulia dan tunduk terhadap agamanya.

 

Mengembalikan Kesakralan Salat

Dalam Islam, salat termasuk ibadah pokok. Yang ditanamkan sejak dini melalui konsep rukun islam. Ajaran pokok ini diyakini sebagai tiang agama. ibadah salat juga menjadi bukti sekaligus identitas keislaman sejati kita. Karenanya, salat menjadi garis pemisah yang jelas antara keimanan dan kekufuran. Hal ini jelas ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadisnya, yang artinya: ” Batas antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat” (HR. Nasa’i, Tirmidzi dan Ahmad).

Ibadah salat juga mempunyai fungsi dan hikmah bagi kehidupan umat islam secara pribadi maupun sosial, diantaranya:

Salat dapat mencegah dari perbuatan mungkar, sebagai penghapus kesalahan dan dosa serta dapat menguatkan jiwa dalam menghadapi cobaan kehidupan. Sehingga wajar seseorang yang melaksanakan salat dengan baik akan menjadi pribadi yang juga baik dalam kehidupan bermasyarakatnya. Fakta ini telah banyak dibuktikan dalam kehidupan komunitas muslim. Dimana mereka senantiasa kontributif, damai dan inspiratif.

Secara sistemik, salat mampu menciptakan kondisi masyarakat yang aman dan damai. Apalagi dalam negara yang mayoritas Muslim seperti Indonesia. Hanya saja penerapan ibadah salat tidak hanya butuh kontrol individu, diibutuhkan kontrol masyarakat sekaligus negara. Agar penyelewengan dan pelalaian ibadah tersebut bisa diminimalisir.

Sisi pendidikan juga harus diperbaiki, sebab adab dan pemahaman tentang perilaku seseorang mutlak pembentukannya melalui pendidikan , tentu bukan pendidikan yang asasnya sekular, sebab yang dimunculkan sebagai output hanyalah cerdas secara teknologi dan tidak secara ruhiyah. Padahal titik poinnya adalah pada amal itu sesuai atau tidak dengan syariat Allah sehingga menciptakan ketenangan dan kesejahteraan.

Secara pasti, semua bisa dirubah namun bukan dalam sistem pengaturan hari ini, kita butuh syariat , seperangkat hukum berasal dari wahyu yang nirmanfaat pribadi.

Wallahu a’ lam bish showab.

 

[ry/LM].

Please follow and like us:

Tentang Penulis