Korupsi: Tumbuh Subur di Sistem Demokrasi
Oleh Sri Retno Ningrum
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Baru-baru ini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Menpan RB), Tjahjo Kumolo mengakui masih mendapati PNS atau ASN yang terjerat korupsi. Tjahjo menyebut setiap bulan Kemenpan RB memecat tidak hormat para PNS korup. “Jujur kami tiap bulan rata-rata hampir 20 hingga 30 persen PNS yang sudah mempunya kekuatan hukum tetap, harus kami ambil keputusan untuk diberhentikan dengan tidak hormat.” kata Tjahjo Kumolo dalam acara rilis survei LSI virtual, Minggu (18/4/2021). Sementara itu, hasil survei LSI menyebut ada lima tempat atau bagian paling korup di instansi pemerintah. Direktur Eksekutif Lembagai Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan menyampaikan lima instansi tempat tersebut adalah pengadaan barang, perizinan usaha, bagian keuangan, bagian pelayanan, serta bagian personalia (Merdeka.com, 18/4/2021).
Tak bisa dipungkiri, bahwa kasus korupsi masih mewarnai kriminalitas di negeri ini. Ini tentu menjadi PR bagi negeri ini untuk memberantas siapa saja yang bertindak korupsi. Negari ini memang sudah mendirikan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang bertugas memberantas korupsi. Akan tetapi, kenyataannya badan tersebut tidak mampu memberantas korupsi karena buktinya kasus korupsi masih menjamur khususnya di instansi pemerintah. Mengapa hal itu terjadi?
Diakui atau tidak negeri ini tidak memiliki ketegasan dalam menindak para koruptor. Para koruptor di negeri ini hanya diberi hukuman pemecatan dan dimasukkan dalam penjara. Padahal, mereka merugikan pihak lain. Lebih dari itu, para koruptor yang dimasukkan dalam penjara diberi fasilitas yang sangat mumpuni bak istana. Walhasil, hukuman penjara tidak akan membuat mereka jera.
Di sisi yang lain, apabila dihitung dari aspek materi, gaji PNS per bulan sangatlah banyak ditambah pula tunjangan-tunjangan yang mereka terima. Semua itu terjadi dikarenakan imbas dari diterapkannya sistem kapitalisme. Sistem tersebut melahirkan masyarakat yang berkeinginan memperbanyak materi tanpa memperhatikan halal maupun haram. Selain itu, praktek suap-menyuap untuk bisa menjadi PNS masih menyelimuti instansi pemerintah. Walhasil, untuk mengembalikan uang yang pernah dikeluarkan untuk menjadi PNS mereka lakukan dengan korupsi.
Islam memandang bahwa korupsi disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa’in, termasuk di dalamnya penggelapan uang yang diamanahkan atau dipercayakan kepada seseorang. Tentu ini adalah perbuatan yang buruk. Ketika Daulah Islam tegak kaum Muslim menjadi individu yang bertakwa kepada Allah Swt. sehingga sangat minim melakukan kemaksiatan termasuk korupsi. Masyarakat pun senantiasa melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar sehingga terbentuk suasana yang islami. Begitu pula dengan negara terus-menerus melakukan aktivitas dakwah kepada warga negaranya. Walhasil, hidup dalam naungan Daulah Islam atau Khilafah, akan menjadikan mereka taat pada aturan-aturan Allah dan menjauhi segala larangannya termasuk berbuat korupsi. Adapun sanksi yang diberikan kepada koruptor adalah ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.
Bentuk sanksi yang paling ringan, seperti nasehat atau teguran dari hakim, bisa pula berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukum cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat). Begitulah hukuman yang diberlakukan apabila Islam diterapkan dalam bingkai negara Islam atau Khilafah, sehingga dari hukuman itu dapat menimbulkan jera bagi warga Daulah Islam.
Sungguh, solusi yang diberikan dalam sistem sekarang ini hanyalah solusi parsial untuk mengatasi korupsi. Ditambah lagi, sistem yang ada malah menjauhkan manusia untuk tidak tunduk pada aturan Allah. Sehingga lahirlah berbagai kemaksiatan, termasuk korupsi. Sebaliknya, korupsi malah tumbuh subur apabila kita tetap mengadopsi sistem ini.
Untuk itu, perlu perubahan sistem dalam mengatur kehidupan masyarakat. Yakni, dengan sistem Islam atau Khilafah. Khilafahlah yang mampu menyelesaikan persoalan kriminalitas di negeri ini termasuk korupsi. Dengan begitu tidak ada lagi pihak yang terzalimi dengan adanya sistem Islam atau Khilafah. Sebaliknya, kesejahteraan yang dirasakan umat. Wallahu’alam Bisshowab. [LM/Mi]