Reshuffle Kabinet, Ganti Wajah Tak Menyelesaikan Masalah
Oleh Dewi Purnasari
(Aktivis Dakwah Politik)
Lensa Media News – Pasca sidang paripurna DPR RI pada Jumat (9/4/2021), isu akan dilakukannya reshuffle kabinet semakin santer terdengar. Walaupun belum diketahui kapan, presiden diperkirakan segera akan mengumumkan pergantian wajah-wajah yang menghiasi kabinetnya. Pergantian menteri di kabinet Presiden Joko Widodo tercatat sudah lima kali dilakukan sepanjang masa kepemimpinannya. Kali ke enam reshuffle kabinet saat ini, rencananya akan dibentuk kementerian baru, yaitu Kementerian Investasi. Sementara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan rencananya akan digabungkan dengan Kementerian Riset dan Teknologi.
Presiden berencana melakukan reshuffle kabinetnya tentulah dengan tujuan untuk mencapai target tertentu. Reshuffle kabinet juga ditujukan untuk mengganti menteri-menteri yang bermasalah dengan orang baru yang dianggap lebih baik. Gonta-ganti wajah yang dipajang di kabinet adalah wajar dilakukan dalam sistem demokrasi. Menteri yang tersangkut kasus korupsi, menteri yang kinerjanya dinilai buruk, dan menteri yang kebijakannya bertentangan dengan kebijakan presiden, adalah menteri-menteri yang disasar untuk diganti. Di samping itu, bagi rata kursi jabatan kepada partai-partai, baik kawan ataupun lawan juga menjadi pertimbangan dilakukannya reshuffle.
Di alam demokrasi terkenal jargon “tidak ada kawan atau lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.” Meski awalnya berada di pihak oposisi, bisa saja kemudian bergandengan tangan dan dimasukan dalam lingkaran pemerintahan. Jadi seseorang, walaupun berasal dari kubu oposisi, bisa saja dimasukan ke jajaran kabinet. Di kabinet Indonesia Maju Jilid II ini, telah beberapa kali dilakukan perombakan dengan tujuan mengoptimalkan kinerja presiden. Hal ini menuai kekawatiran terjadinya akomodasi politik, yaitu penerimaan kepentingan politik tertentu dari pihak tertentu. Ini kekawatiran yang disampaikan oleh Ahmad Syaikhu, Presiden Partai Keadilan Sejahtera, terkait rencana reshuffle kabinet.
Sayangnya, kekawatiran Ahmad Syaikhu tersebut di perkuat sendiri dengan pernyataan berikutnya, bahwa presiden hendaklah tidak memilih calon menteri sebatas dari kalangan profesional non partai saja. Menurutnya, banyak profesional berasal dari partai yang juga memiliki kemampuan yang baik. Pernyataan beliau ini jelas menyiratkan keinginan untuk ‘dilirik’ oleh presiden agar profesional dari partainya juga punya kesempatan untuk masuk ke kabinet. Lagi-lagi mindset politik ‘kepentingan’ terlihat nyata melingkupi partainya.
Terkait rencana reshuffle kabinet ini, Partai Amanat Nasional (PAN) ternyata sudah selangkah lebih maju. PAN lewat kader partainya, Guspardi Gaus menyatakan, bahwa partainya sudah menyiapkan kader-kader terbaiknya jika diajak bergabung ke dalam kabinet Indonesia Maju Jilid II. Jadi walaupun belum resmi ada tawaran dari presiden, tetapi kader PAN sudah siap mengisi posisi manapun di dalam kabinet. Namun, anehnya, menurut Saleh Partaonan Daulay, Ketua DPP PAN, partainya belum membicarakan tentang wacana masuk kabinet Indonesia Maju Jilid II. Seperti diketahui bersama, PAN selama ini bukanlah partai yang mendukung pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.
Mengapa bisa terjadi partai lawan berputar 180 derajat menjadi partai kawan? Hal ini karena keyakinan bahwa masuk ke dalam kabinet ataupun menjadi anggota DPR adalah jalan untuk bisa berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara. Padahal sesungguhnya, pejabat yang terpilih, terlepas ia berasal dari partai mana pun atau dari non partai sekalipun, pasti akan tersandera oleh kepentingan rezim ketika ia memangku jabatan di pemerintahan. Selama sistemnya tetap sama, maka pergantian orang tidak akan pernah berhasil mengubah kondisi yang ada. Sebab masalahnya bukan terletak pada orangnya (yang harus diganti), tetapi sistem pemerintahannya (yang harus diganti).
Jika saja ada kemauan yang tulus dari anak bangsa ini untuk mengubah keadaan negara yang carut-marut, maka cobalah melirik sekejap pada sistem bernegara berdasarkan syariat Islam. Kemudian pandanglah syariat Islam dengan pikir dan hati yang jernih, niscaya akan ditemukanlah kebenaran dan kebaikan dalam sistem Islam tersebut. Karena pada dasarnya, sistem Islam meletakkan nilai kekuasaan semata untuk menegakkan peraturan Allah Swt. Inilah satu-satunya jalan yang memungkinkan penegakkan amar makruf nahi munkar dapat dilakukan di dalam negara.
Islam memandang kedaulatan hukum dan peraturan hanya berada di tangan Allah semata. Sehingga pemimpin dan para pejabatnya dipilih untuk menjalankan hukum dan peraturan yang telah Allah tetapkan. Sedangkan dalam demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat, sehingga pemimpin dipilih untuk menjalankan kehendak rakyatnya. Hal ini berarti, demokrasi telah mengagungkan rakyat sebagai Tuhan. Karena apa pun yang dikehendaki rakyat, harus didengar dan dijalankan. Sedangkan ada pula pihak lain yang juga harus dipertuhankan di dalam demokrasi, yaitu para korporat (pemilik modal). Para korporat ini ‘bermain’ di balik layar, sedangkan pemain yang tampil adalah pemimpin dan jajaran pejabatnya.
Pihak lain yang ikut memancing di air keruh di dalam pemerintahan demokrasi adalah para partai yang masing-masing punya kepentingan. Partai-partai ini saling sikut untuk meraih posisi tertinggi demi menghidupi partainya. Biaya kebutuhan partai yang sangat besar ini akan mendorong kuatnya para kader antar partai saling sikut dan saling ‘sikat’ untuk meraih kesempatan meraup pundi-pundi rupiah. Jika terbuka peluang untuk bisa meraup lebih banyak melalui korupsi, maka hal itupun akan dilakukan. Maka tak heran, selama 20 tahun sejak masa reformasi, partai politik (parpol) telah menjelma menjadi mesin penghasil koruptor. Semua ini niscaya terjadi dalam demokrasi.
Sedangkan menurut Islam, fungsi utama parpol adalah melakukan pembinaan umat dengan pemahaman Islam, dan melakukan amar makruf nahi munkar kepada pemimpin. Fungsi utama ini sejalan dengan perintah Allah dalam Surah Ali-Imran ayat 104, dimana kata ‘umat’ dalam ayat tersebut ditafsirkan oleh Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam Shafwah At-Tafasir sebagai hizb (partai). Dari sini jelas, bahwa jika sesuai dengan Islam, keberadaan parpol dan kader-kadernya sangat dibutuhkan, karena akan membawa kebaikan bagi pemimpin maupun rakyat. [LM/Mi]