Jaminan Islam bagi Pekerja

Oleh : Mimin Diya

 

Lensa Media News – Menjelang lebaran terdapat banyak momen bahagia bagi para pekerja. Salah satunya turunnya tunjangan hari raya (THR). Bagaimana dengan THR di masa pandemi? Masihkah mendatangkan kebahagiaan?

Sebagian besar perusahaan mengalami penurunan omzet di masa pandemi. Para pengusaha merasa sulit menjalankan bisnisnya. Menimbang kondisi demikian, Menteri Ketenagakerjaan memunculkan opsi aturan yang memperbolehkan perusahaan mencicil atau menunda pembayaran THR (detik.com, 9/4/2021).

Kebijakan ini mendapat penolakan dari satuan pekerja, seperti yang dilakukan oleh Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang Dan Kulit Sarikat Pekerja Seluruh Indonesia (SP TSK SPSI). Sebagian para pekerja yang terdampak pandemi covid-19 mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebagiannya lagi dibayar ala kadarnya. Disisi lain, bantuan subsidi upah mulai dihentikan oleh pemerintah. Sementara mereka harus memenuhi kebutuhan hidup di tengah kenaikan harga bahan pokok selama puasa. Nasib pekerja juga semakin sulit setelah lahir beberapa kebijakan, antara lain: pengesahan UU Cipta Kerja; PP No. 34 tentang tenaga kerja asing (TKA); PP No. 35 mengenai PKWT; alih daya dan PHK; PP No. 36 mengenai pengupahan; PP No. 37 mengenai JKP; serta Peraturan Menteri (Permen) No. 2 Tahun 2021 mengenai pengupahan untuk industri padat karya dimana aturan tersebut memperbolehkan perusahaan untuk membayar upah buruh di bawah upah minimum (CNN, 21/3/2021).

Padahal pemerintah telah memberi keringanan kepada pelaku usaha lewat stimulus atau insentif usaha dan keringanan pajak. Sehingga perusahaan dapat beroperasi normal sebagaimana masa sebelum pandemi. Inilah yang membuat kecewa para pekerja atas pemberlakuan kebijakan THR dicicil. Lagi-lagi kebijakan negara tampak lebih berpihak kepada pengusaha daripada kepada rakyat.

Semua ini jelas tidak lepas dari penerapan sistem kapitalisme yang menimbulkan kezaliman. Sistem kapitalisme memberi perhatian istimewa pada kalangan pengusaha/kapitalis dan mengorbankan kepentingan dan hak rakyat umum. Sistem ini hanya sekedar menciptakan kesejahteraan semu bagi rakyat. Harta hanya beredar di kalangan orang kaya. Para pemilik modal, bebas berkepemilikan.

Sistem kapitalisme membebaskan manusia untuk membuat aturan yang standarnya adalah manfaat demi mengakomodir kepentingan individu atau kelompok elit. Faktanya tampak dari banyaknya undang-undang yang pro kapitalis dan mengorbankan hidup rakyat. Seperti undang-undang yang tercantum pada paragraf awal. Maka solusi bagi para pekerja dan rakyat secara umum, tidak lain adalah harus mengkritisi dan mencampakkan sistem yang diterapkan saat ini. Karena jelas sistem kapitalislah akar masalah dari penderitaan hidup rakyat. Maka sistem ini harus diganti dengan sistem yang haq, sistem yang bersandar pada keimanan kepada Allah, yakni sistem Islam.

Sistem Islam memperlakukan semua warga negara sesuai ketentuan Allah. Kesempurnaan sistem Islam akan mampu membawa keadilan dan kesejahteraan hakiki bagi seluruh umat manusia, tidak pandang kaya maupun miskin, penguasa atau rakyat biasa. Semua diatur berdasarkan syariat Islam yang sangat memperhatikan halal dan haram. Penyelesaian masalah pekerjaan pun bersandar kepada syariat Islam. Dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam disebutkan bahwa syariah Islam menetapkan setiap pekerjaan harus ditentukan bentuknya, waktu, upah dan tenaga yang harus dicurahkan dalam melaksanakannya. Disyaratkan pula agar upah ijarah (kontrak kerja) jelas. Sesuai sabda Nabi SAW.: “Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak tenaga seorang pekerjan, maka hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya” (HR. ad-Daruquthni).

Tinggi rendahnya upah dalam suatu pekerjaan semata-mata dikembalikan pada tingkat kesempurnaan jasa atau curahan tenaga yang diberikan. Selanjutnya, apabila seorang pekerja telah selesai menunaikan pekerjaannya, maka ia berhak mendapatkan upah yang telah disepakati. Tidak diperbolehkan merampas sebagian upah yang telah ditetapkan sesuai sabda Nabi SAW.: “Hati-hatilah kalian terhadap qusamah!” Kami bertanya, “Qusamah itu apa?” Beliau menjawab, “Yakni sesuatu yang telah disepakati sebagai bagian di antara manusia, kemudian bagian tadi dikurangi” (HR. Abu Dawud). Jika musta’jir (majikan) tidak menunaikan kewajibannya, maka akan bersiap menjadi musuh Allah pada hari kiamat. Mereka adalah orang yang mengontrak pekerja, lalu pekerja tersebut menunaikan transaksinya, sedangkan dia tidak memberikan upahnya sesuai sabda Rasulullah SAW.: “Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezaliman” (HR. Bukhari No. 2400 dan Muslim No. 1564).

Demikian gambaran sebagian penerapan sistem ekonomi Islam yang jelas mampu memberikan solusi tuntas atas setiap masalah. Umat muslim berkewajiban untuk menerapkan hukum Islam secara kaffah. Maka di tengah-tengah umat akan tercurah keberkahan dan kemaslahatan hidup, karena Islam rahmatan lil ‘alamin.

Wallahu’alambishawwab.

[lnr/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis