Mengurai Gurita Korupsi dan Solusinya

Oleh : Dwi P Sugiarti
(Aktivis Muslimah Majalengka)

 

Lensamedia.com– “Koruptor ternyata bukan sejenis maling, mereka itu priyayi agung, orang penting.” Sindiran Butet Kertaradjasa ini nampaknya cocok dengan kondisi negeri ini.

Namun, nasib berkata lain, dana untuk rakyat tidak tersampaikan. Benar saja, dilansir dari kompas.com (6/12) sepekan sebelum kasus korupsi bansos mencuat, Menteri Kelautan dan Perikanan sekaligus kader Gerindra, Edhy Prabowo menjadi tersangka korupsi. Hal ini lantaran diduga menerima suap izin ekspor benih Lobster.

Setelahnya, giliran politisi PDI-P sekaligus Menteri Sosial Juliari Peter Batubara (JPB) yang dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dugaan korupsi yang melibatkan Juliari dilakukan dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) Covid-19 yang notabene merupakan dana penanggulangan bencana.

Gurita Korupsi Masih Merajalela

Transparency International Indonesia (TII) merilis IPK Indonesia 2020 turun ke angka 37 pada skala 0-100. Skor 0 sangat korup dan skor 100 sangat bersih. Adapun penurunan IPK ini membuat posisi Indonesia merosot ke peringkat 102 dari 180 negara yang dinilai IPK-nya. Sebelumnya, Indonesia berada di posisi 85 pada 2019 (www.kompas.com, 28/01/2021).

Hasil survey ini makin membuktikan realitas gurita korupsi di Indonesia. Satu per satu korupsi terkuak. Satu menteri terjerat korupsi, menteri lain mengikuti. Lembaga pemerintahan menjadi sarang tikus berdasi. Lalu, bagaimana dengan kebijakan hukuman mati bagi koruptor? Cukupkah hanya memperkuat lembaga KPK agar korupsi tak makin merajalela?

Islam Membasmi Korupsi

Selama ini hukuman mati sudah beberapa kali diwacanakan. Ketua KPK, Firli Bahuri, pernah sesumbar akan menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku korupsi dana pandemi atau bencana sejenisnya. Hanya saja, masih banyak pro-kontra yang terjadi. Sehingga, sampai detik ini belum ada pelaku korupsi yang diganjar dengan hukuman mati.

Di sisi lain, pengesahan revisi UU KPK dianggap telah melemahkan KPK. UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK tersebut akhirnya pun disahkan pemerintah bersama DPR pada 17 September 2019. Tak ada satu pun partai di legislatif yang menolak pengesahan revisi UU KPK ini.

Sehingga sejumlah elemen masyarakat menilai perlu adanya penguatan lembaga KPK. Namun, cukupkah dengan itu?
Jika dilihat korupsi di negeri ini rasanya sudah menjadi hal yang biasa dalam iklim sistem demokrasi. Namun upaya penguatan lembaga pemberantasan korupsi hanyalah sebatas solusi tambal sulam. Jika korupsi diibaratkan air keran yang terus menyala dan mengalir ke dalam bak hingga penuh dan luber hingga membasahi lantai, maka seseorang takkan berpikir untuk mengepel lantai yang basah sebelum mematikan kerannya.

Karena korupsi adalah masalah sistem, maka solusinya juga dengan mengganti sistem. Sistem hari ini telah menyuburkan korupsi, para penguasa dan pengusaha saling bekerja sama demi kepentingan masing-masing. Berharap pada sistem demokrasi adalah sebuah kesalahan fatal. Sehingga, solusinya adalah menggantinya dengan Islam.

Tidak seperti demokrasi yang cacat di segala lini, sistem Islam memiliki jurus jitu menangkal dan membasmi korupsi. Islam menyiapkan instrumen pencegahan dan penindakan bila ada pejabatnya yang terdeteksi melakukan korupsi. Beberapa hal yang dilakukan antara lain:
Dalam Islam, korupsi termasuk hukuman ta’zir. Sanksinya bisa berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), hukuman cambuk, penyitaan harta, pengasingan, hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.

Tak hanya itu, upaya pencegahan turut dilakukan demi meminimalisir tindak korupsi. Bebrapa hal yang dilakukan antara lain:
Pertama, penanaman nilai akidah dalam sistem pendidikan Islam akan melahirkan generasi yang beriman dan bertakwa. Ditopang dengan sistem pendidikan berbasis akidah Islam akan menghasilkan manusia berkepribadian Islam.

Kedua, adanya pemberian gaji yang layak. Para pejabat akan diberi gaji yang mencukupi, tunjangan serta fasilitas yang mampu memenuhi kebutuhan mereka.

Ketiga, penghitungan kekayaan. Hal ini pernah berlaku di masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. Beliau kerap menghitung kekayaan pejabat di awal dan di akhir masa jabatan. Jika ditemukan gelembung harta yang tidak wajar, maka yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yang diterimanya didapatkan dengan cara halal.
Itulah cara Islam membasmi korupsi. Apalagi di dalam Islam, seorang pemimpin adalah pelayan umat. Ia bertanggung jawab di hadapan Allah untuk menjaga amanah kepemimpinannya. Sehingga ia akan berhati-hati dan tidak akan mau menerima suap sebab kelak kepemimpiannya akan dimintai pertanggungjawaban.

Abdullah bin Umar mengatakan, Rasulullah Saw. berkata, “..setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka.”

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis