Wacana merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bergulir setelah Presiden Joko Widodo meminta agar implementasi UU tersebut menjunjung prinsip keadilan (Kompas.com 15/02/2021).

Presiden akan meminta DPR menghapus pasal-pasal karet yang ada di dalam UU ITE, karena pasal-pasal itu menjadi hulu dari persoalan hukum UU tersebut. Revisi UU ITE sebenarnya bukan pertama kali ini saja bergulir. Pada 2016, DPR telah merevisi UU tersebut dengan mengesahkan UU Nomor 19 Tahun 2016 sebagai perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Namun, faktanya revisi saat itu tidak serta merta mencabut pasal-pasal dalam UU ITE yang dianggap sebagai pasal karet.

Analis Politik Exposit Strategy Arif Susanto mensinyalir wacana revisi UU ITE mengemuka hanya sebatas alat pencitraan pemerintah. Sebab, menurutnya, gagasan revisi UU ITE mencuat di tengah terpaan berbagai kritik dari dalam negeri dan internasional. Salah satu yang terbaru, survei The Economist Intelligence Unit (EIU) mendapati indeks demokrasi Indonesia menurun. Negeri kita menempati peringkat 64 dari 167 negara dunia (CNN indonesia.com 19/02).

Jika dicermati, sejatinya pengesahan UU ITE memang terbukti telah menjadi alat untuk membungkam suara kritis masyarakat terhadap berbagai kebijakan penguasa. Pemerintah tetap tak bergeming meski dicap represif oleh rakyatnya sendiri. Sebab, hal ini merupakan konsekuensi jika memilih konsisten menerapkan sistem demokrasi-kapitalis neoliberal yang cenderung pro kepentingan kapitalis. Karena, sistem ini sudah pasti akan menabrak proses partisipasi rakyat, sekaligus menihilkan proses dialog yang akomodatif terhadap kepentingan rakyat banyak.

Dengan demikian jangan pernah berharap hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, serta keadilan akan terwujud. Meski terjadi revisi, rakyat akan tetap menelan pil pahit kekecewaan. Tak ada jalan lain hanya sistem Islam yang mampu memberi jaminan keadilan dan kesejahteraan, serta memberi kebebasan sepanjang ada dalam koridor syariat yang menjamin segala kebaikan. Bukan sebatas wacana. Wallahu a’lam bisshowwab.

Teti Ummu Alif
(Kendari, SulawesiTenggara)

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis