Menyingkap Tabir Surplus BPJS Kesehatan
Oleh: Fitria Zakiyatul Fauziyah Ch
(Mahasiswi STEI Hamfara Yogyakarta)
Lensa Media News – Bagaikan pungguk merindukan bulan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami surplus. Pada tahun 2016, BPJS Kesehatan mempunyai piutang hingga mencapai Rp 2,41 triliun, dan rekor surplus oleh BPJS Kesehatan ini terjadi pertama kali dalam 5 tahun terakhir.
Setahun kemudian yaitu pada tahun 2017, asuransi kesehatan negara ini defisit Rp 1,01 triliun dan utang klaim yang sedang dalam proses Rp 4,72 triliun. Jumlah itu terus membengkak, tahun berikutnya defisit mencapai Rp 9,16 triliun dan hutang klaim Rp 1,47 triliun. Puncaknya, pada 2019, defisit mencapai Rp 15,56 triliun dan utang klaim dalam proses Rp 1,56 triliun.
BPJS Kesehatan mencatat dalam laporan keuangan unaudited pada 31/12/2020, aliran kas Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan tercatat surplus Rp18,7 triliun.(bisnis.com, 9/2/2021).
Bila ditelaah secara mendalam, apakah surplus ini sudah berbanding lurus dengan pelayanan kesehatan yang didapat oleh rakyat secara optimal? Sebenarnya apa di balik tabir surplus BPJS Kesehatan?
Ada Apa di Balik Surplus BPJS Kesehatan?
Direktur utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris mengatakan bahwa surplus BPJS Kesehatan disebabkan berbagai faktor yang ada. Salah satunya penyesuaian iuran JKN-KIS. Pertama, strategic purchasing atau pilar yang terkait dengan pembelanjaan dana di BPJS Kesehatan. Kedua, revenue collection atau akumulasi iuran. Ketiga, risk pooling, yaitu harapan adanya kesadaran masyarakat terkait dengan program JKN, slogannya, “Dengan gotong royong, semua tertolong.”
Saleh Partaonan Daulay, Anggota Komisi IX DPR mengatakan, “Surplus BPJS Kesehatan lebih karena adanya kenaikan iuran hampir 100 persen sejak awal tahun 2020. Dengan rincian, iuran kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 150.000, kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 100.000 dan kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Namun, pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 7.000 sehingga peserta membayar Rp 35.000”.
Paradigma yang serupa. Pada saat kekurangan dana, maka dengan jalan iuran dinaikkan. Seperti ketika anggaran negara mengalami defisit, pemerintah melakukan berbagai cara dengan menarik pajak dari segala aspek. Begitu juga dengan BPJS Kesehatan, jalannya adalah dengan menaikkan iuran demi menutup defisit dan gagal bayar.
Data BPJS Kesehatan mencatat, peserta PBI meningkat dari 106,52 juta orang menjadi 132,76 juta orang. Sementara pekerja swasta melonjak dari 41,02 juta menjadi 55,14 juta. Sedangkan untuk peserta mandiri naik dari 19,33 juta orang menjadi 30,43 juta orang (bisnis.com, 9/2/2021).
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, mengatakan bahwa kenaikan iuran terutama dari kelompok yang ditanggung negara atau peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang menciptakan surplus BPJS Kesehatan. Maka yang menjadi penopang sistem BPJS Kesehatan yaitu kenaikan iuran dan penambahan peserta penerima bantuan.
Pengelolaan Kesehatan di Sistem Islam
Sistem Islam memiliki seperangkat mekanisme dalam pengelolaan sistem kesehatan. Dalam Islam kebutuhan pangan, papan dan sandang merupakan kebutuhan pokok setiap inidividu, juga dalam hal keamanan, pendidikan, dan kesehatan merupakan hak yang mendasar atas seluruh masyarakat.
Negara sebagai pelindung dan pengurus rakyat, maka wajib menjamin seluruh kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan untuk setiap individu. Selain itu, negara juga wajib menyediakan pelayanan keamanan, pendidikan dan kesehatan untuk seluruh rakyat. Penguasa tidak boleh berlepas tangan dari kewajiban tersebut, karena mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas kewajiban ini di akhirat kelak.
Sebagai kebutuhan dasar, maka pelayanan kesehatan seperti fasilitas kesehatan yaitu rumah sakit, klinik dan lainnya merupakan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq) yang wajib disediakan oleh negara sebagai bagian dari pengurusan negara atas rakyatnya.
Prinsip dasar pelayanan kesehatan dalam Islam memiliki empat sifat. Pertama, universal, yang bermakna tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat. Kedua, bebas biaya. Rakyat tidak dikenakan pungutan biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan. Ketiga, seluruh rakyat dapat mengaksesnya dengan mudah. Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis, tidak dibatasi oleh plafon.
Pemberian jaminan kesehatan seperti itu, pembiayaannya bisa dipenuhi dari berbagai sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh aturan Allah.
Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan lain sebagainya. Selain itu juga dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanîmah, fai’, usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Secara keseluruhan tentu akan lebih dari cukup dalam memberikan pelayanan kesehatan secara optimal dan gratis untuk seluruh rakyat. Perlu diingat, semua bisa terwujud apabila Islam diterapkan secara meyeluruh.
Wallaahu a’lam bish-shawwab.
[LM]