Penyebab Banjir Tak Sekadar Problem Administrasi
Oleh : Alfiana Rahardjo, S.P.
Lensa Media News – Bencana banjir masih menjadi polemik. Tahun ini banjir mengepung mulai dari kawasan hutan hingga perkotaan. Seolah tak ada kesempatan untuk air hujan mengalir ke tempat tujuan yang seharusnya. Persoalan banjir di Kalimantan Selatan belum tuntas, kini merembet ke wilayah lainnya. Seperti yang terjadi di Kota Semarang
Dilansir dari sindonew.com,7/02/2021, banjir di kota Semarang terjadi berawal dari luapan Kali Beringin Mangkang dan Kali Plumbon Kaligawe. Pada saat bersamaan, air pasang pun tingginya mencapai 1.4 meter.
Sejumlah pompa penyedot banjir di Semarang ditemukan tak berfungsi optimal lantaran permasalahan administratif. Petugas hanya mengoperasikan satu dari tiga pompa yang terpasang di rumah pompa kawasan Kota Lama tersebut. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar mengingatkan problem semacam ini harus segera diselesaikan mengingat kondisi darurat penanganan banjir (CNNIndonesia.com, 7/02 /2021).
Bila kita telisik banjir Semarang terjadi bukan hanya masalah administrasi. Namun, problem mendasar yakni karena masifnya pembangunan yang menutup daerah resapan air. Masifnya pembangunan yang tidak memprioritaskan keselamatan rakyat. Pembangunan yang hanya bertujuan untuk untung rugi. Pembangunan infrastruktur tanpa memperhatikan keberadaan daerah resapan air tentu bisa menyebabkan banjir melanda pusat kota.
Pengamat tata kota Nirwono Yoga dari Universitas Triasakti menilai salah satu penyebab banjir di Semarang karena pesatnya pembangunan infrastruktur yang memangkas daerah resapan air. Banjir pun menggenangi landasan pacu bandara yang notabene berada di kawasan sekitar hutan mangrove dan kawasan kota termasuk stasiun kereta api.
Ketidaksesuaian tata ruang turut menjadi faktor penyebab banjir di Semarang. Hal ini terjadi karena pembangunan infrastruktur tersebut menurunkan porsi kawasan hijau.
Sejak 2017 saja, hampir seluruh kawasan di Semarang yang terbangun menjadi daerah komersial, pemukiman, industri dan perdagangan, pertanian dan pendidikan. Daerah konservasi pun tinggal sedikit dan hanya berada di kawasan Semarang Selatan.
Faktor tata ruang memengaruhi, dimana daerah resapan air dan wilayah hijau di Semarang semakin berkurang. Tak heran, bila banjir tahun ini lebih parah daripada tahun sebelumnya.
Sudah seharusnya hal ini menjadi perhatian penguasa. Pembangunan infrastruktur seharusnya berdasarkan kebutuhan rakyat. Bukan ditujukan untuk mencari keuntungan. Sehingga pembangunan dilakukan dengan tetap memperhatikan tata ruang kota yang berpengaruh terhadap keberadaan daerah resapan air.
Inilah bagian dari watak sistem kapitalis yang diemban para penguasa di negeri ini. Kebijakan yang diambil berdasarkan keuntungan semata. Termasuk kebijakan tata ruang wilayah. Hal ini menunjukkan penguasa abai terhadap keselamatan publik. Padahal penguasa sejatinya merupakan pelindung dan penanggung jawab kemaslahatan rakyatnya.
Tentu berbeda bila negara menerapkan sistem Islam. Dalam sistem ini, penguasa berperan sebagai pelindung dan penanggung jawab kemaslahatan rakyatnya. Negara hanya membangun infrastruktur sesuai kebutuhan rakyatnya. Dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah yang aman sehingga banjir bisa dicegah. Negara tidak akan membangun di daerah resapan air. Daerah tersebut diberikan perlindungan.
Sistem Islam juga membangun infrastruktur untuk pencegahan banjir. Seperti bendungan yang berfungsi untuk menampung curahan hujan dan air sungai secara optimal. Memetakan kawasan sekitar sungai untuk tidak menjadi pemukiman. Membangun sungai buatan, saluran drainase, dan kanal-kanal yang berfungsi untuk mengurangi penumpukan volume air dan melancarkan aliran air. Serta, menjaga keberadaan kawasan hijau dan daerah resapan air.
Jika negara menerapkan sistem Islam yang sangat memuliakan manusia karena berasal dari Allah, maka segala persoalan lingkungan bisa terselesaikan. Termasuk persoalan banjir ini.
Wallahu a’ lam bish showab.
[ry/LM]