Status Kritis Tenaga Medis

Oleh: Kunthi Mandasari
(Pegiat Literasi) 

 

Lensa Media News – Dalam perang menghadapi virus Covid-19, para nakes berdiri di garda paling depan. Hampir setahun lamanya mereka berjuang. Sampai saat ini puncak kurva pun belum terlihat hilalnya. Padahal para nakes telah banyak yang berguguran.

Menurut catatan lapor COVID-19, hingga 28 Desember 2020, total ada 507 nakes dari 29 provinsi di Indonesia yang telah gugur karena Covid-19. Jumlah tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kematian tenaga medis tertinggi di Asia (kompas.com, 29/12/2020). Sungguh miris, jumlah tersebut bahkan lebih tinggi dibandingkan korban Covid-19 di negara tetangga seperti Singapura, Thailand, Vietnam, Kamboja, Brunei, dan Laos.

Jumlah nakes di Indonesia pun tidak sebanding dengan beban yang harus dipikul. Jumlah dokter di Indonesia menempati posisi kedua terendah kedua di Asia Tenggara, yaitu sebesar 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Itu artinya, jika kehilangan 100 dokter sama dengan 250.000 penduduk tidak memiliki dokter (kompas.com 29/12/2020).

Beban tenaga kesehatan yang sebelumnya sudah berat, saat pandemi kian bertambah berat. Apalagi jumlah positif Covid-19 masih banyak. Bahkan angka positivity rate atau tingkat penularan di Indonesia konsisten 14-15 persen selama beberapa bulan. Adapun menurut standar WHO, maksimal positivity rate hanya 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia masih kurang maksimal atau buruk.

Lebih disayangkan lagi jumlah kematian tersebut hanya dianggap sebagai angka semata. Padahal itu bukan sekadar angka, tetapi nyawa manusia yang bagi anggota keluarga mereka dianggap sangat penting. Terlebih kedudukan tenaga medis dalam perang melawan pandemi ini. Jika tenaga medis terus berguguran, siapa yang akan memberikan pengobatan?

Tingginya angka kematian ini tak lepas kebijakan pemerintah sekuler dalam menangani pandemi, dimana keselamatan ekonomi lebih diutamakan dibanding memutus rantai penyebaran virus. Bahkan kebijakan pemicu kerumunan justru difasilitasi. Selain kebijakan yang masih longgar, pemerintah pun tidak pernah bisa mencapai standar 3T, yaitu testing, tracing, treatment yang ditentukan WHO.

Tes yang selama ini dilakukan belum pernah stabil dan masih di bawah standar WHO. Apabila Indonesia berpenduduk 267 juta jiwa, maka jumlah penduduk minimal yang harus dites sebanyak 38.500 orang. Begitu pula tracing atau pelacakan masih buruk. Idealnya, apabila 1 orang positif Covid-19, maka yang dilacak harusnya 30 orang. Sedangkan di Indonesia hanya 1 berbanding 3 orang.

Buruknya penanganan Covid-19 ini berdampak pada lonjakan angka positif Covid-19. Jika sudah begini, para tenaga medislah yang harus berjuang mati-matian untuk memberikan pelayanan. Akibatnya, tenaga medis berada pada tekanan yang menyebabkan kelelahan secara fisik maupun secara psikis.

Di saat perang melawan pandemi belum usai, kehilangan tenaga medis merupakan kerugian yang sangat besar. Namun mau bagaimana lagi, jika sejak awal kebijakan yang terapkan hanya setengah hati. Di saat para pakar menganjurkan karantina wilayah/ lockdown lokal, pemerintah justru menerapkan PSBB dan memberlakukan new normal disaat kurva belum landai.

Lebih miris lagi ketika para nakes berjuang melawan pandemi justru tidak dibekali dengan perlengkapan dan fasilitas yang memadai. Bahkan disaat nakes di pelosok berteriak kekurangan APD, pemerintah justru mengekspor APD.

Lahirnya kebijakan kontraproduktif tak lepas dari sistem sekularisme yang diterapkan. Negara yang menganut sistem sekularisme tidak pernah menjadikan agama sebagai kiblat pemecahannya. Sistem demokrasi sekular juga yang melahirkan penguasa zalim. Sehingga kebijakannya selalu saja kontraproduktif dengan keselamatan nyawa umat.

Sistem ini pula yang melahirkan penguasa dengan orientasi materi. Sehingga kebijakan yang lahir lebih mengutamakan keselamatan ekonomi daripada nyawa manusia.

Padahal Rasulullah saw bersabda:
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).

Lebih disayangkan lagi apabila terbunuhnya manusia akibat kelalaian dalam mengambil kebijakan. Padahal setiap perbuatan kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Seorang pemimpin seharusnya bertanggung jawab terhadap seluruh urusan umat. Serta menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat seperti keamanan, pendidikan dan kesehatan.

Bukan menyerahkan kepada swasta seperti saat ini. Ketika pelayanan kesehatan berada di bawah kekuasaan pemerintah secara penuh, pelayanannya tidak akan berorientasi kepada materi.
Rasulullah saw bersabda:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. Al-Bukhari).

Penguasa juga harus melindungi agama, akal, harta, kehormatan dan jiwa masyarakat. Sehingga tak akan terjadi kepentingan ekonomi lebih diutamakan dari nyawa. Hal ini hanya mungkin terjadi ketika Islam diterapkan secara total.

Wallahu’alambishshawwab.

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis