Kelaparan di Negeri Lumbung Padi
Oleh : Feni Endah Nurfitriyani, S.Pd.
(Muslimah Penulis Peradaban)
Lensa Media News – Kelaparan menjadi persoalan yang belum tuntas sampai saat ini. Memasuki tahun 2021 dimana pandemi belum usai, Indonesia semakin berat menangani tingkat kelaparan masyarakat. Sebelum pandemi Indonesia sudah memiliki rapot merah perihal kelaparan. Ada 22 juta jiwa yang menderita kelaparan, 88 kabupaten/kota berdasarkan data ADB dan Kementan.
Tahun 2019 Riset Indeks Kelaparan Global memperkirakan 8,3% populasi tak mendapat gizi cukup dan 32,7% anak balita mengalami stunting. Bahkan untuk kasus stunting Indonesia sebelum pandemi yaitu tahun 2019 menempati posisi ke-4 urutan stunting di dunia (MMC, 2/2/2021).
Kita tidak bisa menyalahkan pandemi Covid-19 sebagai penyebab utama kelaparan dan stunting. Ternyata Indonesia sebelum pandemi Covid-19 sudah memiliki rapot merah terkait kecukupan konsumsi pangan warga negaranya. Cita-cita kedaulatan pangan masih menjadi angan-angan.
Hal yang membuat geram adalah Indonesia memiliki luas lahan pertanian mencapai 570.000 km persegi, namun tak mampu memenuhi pasokan pangan dikarenakan kebijakan impor besar-besaran yang sangat merugikan para petani. Mirisnya lagi beras impor yang disimpan di Bulog banyak yang sudah tak layak pakai akibat distribusi yang tidak merata.
Mengapa hingga saat ini kelaparan dan stunting tak kunjung usai di negeri lumbung padi ini? Persoalannya bukan pada produksi, tetapi pada distribusi pangan dan daya beli masyarakat. Bagaimana bisa rakyat memenuhi kebutuhan pokoknya, sementara negara tidak memfasilitasi lapangan pekerjaan yang merata dan gaji yang mencukupi. Kita akan melihat kenyataan bahwa penghasilan masyarakat Indonesia mayoritas tidak mampu memenuhi kebutuhan primernya.
Dimana peran negara ketika rakyat menjerit tak bisa makan? Sedangkan para pejabat pemerintahan malah melakukan korupsi di tengah pandemi. Puluhan tahun negeri ini tidak tuntas mengatasi problematika masyarakat, bukan hanya dikarenakan pemimpinnya yang tidak amanah, tapi penyebab utamanya adalah sistem yang digunakan di negeri ini tidak mampu mensejahterakan rakyat. Bahkan menumbuh-suburkan kecurangan (korupsi) dalam menjalankan tugas kenegaraan baik di pemerintahan pusat maupun daerah.
Sistem demokrasi yang telah diterapkan negeri ini selama puluhan tahun telah terbukti gagal menjamin kebutuhan pokok seluruh masyarakat Indonesia. Sistem ini tak bisa dipercaya lagi, terutama karena sistem ini berasal dari akal fikiran manusia yang terbatas. Padahal seyogyanya manusia menggunakan aturan yang berasal dari Al-Khaliq Allah Ta’ala, Dzat Yang Menciptakan seluruh manusia, alam semesta dan seisinya.
Jika sistem bathil digunakan maka inilah akibatnya, kriminalitas menjadi hal lumrah, tidak peduli rakyat yang kelaparan, korupsi yang semakin mengakar dan negara yang senantiasa abai mengurusi rakyatnya.
Islam mengatur seorang pemimpin (Khalifah) bertanggung jawab penuh terhadap seluruh kebutuhan warganegaranya. Rasulullah Saw. bersabda, “ Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Pengelolaan produksi pertanian diupayakan untuk memiliki kedaulatan pangan tanpa mengimpor dari negara lain. Petani sawah atau perkebunan akan menjadi profesi yang menjanjikan, karena modal produksi dijamin oleh negara. Teknologi pangan ditingkatkan dengan fasilitas negara.
Selain produksi yang melimpah, distribusi adalah hal yang penting dimana seluruh rakyat akan menikmati hasil bumi negerinya dengan berkecukupan. Daya beli masyarakat pun akan terjangkau, dikarenakan negara menyediakan lapangan pekerjaan untuk seluruh warga negara dengan gaji yang layak.
Dengan sistem Islam yang diterapkan kelaparan bisa ditangani. Kelebihan penerapan sistem Islam dalam berbagai aspek kehidupan di suatu negara adalah mendatangkan kebarokahan dari Allah Ta’ala.
Solusi tuntas untuk mengatasi berbagai problematika manusia adalah dengan ditegakkannya syari’ah Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah.
Wallohu a’lam bishshawab.
[ry/LM]