Kematian Nakes Bukti Keegoisan Demokrasi
Oleh: Uswatun Al-Maghfirah
(Mahasiwa)
Lensa Media News – Hampir satu tahun pandemi menginfeksi Indonesia, berbagai fakta baru yang memilukan kembali mencuat ke publik. Pada penghujung tahun 2020, IDI mencatat 504 tenaga kesehatan wafat akibat infeksi Covid-19. Angka ini merupakan yang tertinggi di Asia serta menduduki lima besar kematian nakes di dunia (Republika.co.id, 2/1/21). Jumlah ini meningkat signifikan jika dilihat dari data kematian pada awal November yang mencapai angka 282 jiwa (Tirto.id, 10/11/20).
Angka kematian yang begitu tinggi tentu sebuah kerugian besar bagi negara. Dengan berkurangnya jumlah tenaga medis, maka pelayanan kesehatan akan semakin menurun. Padahal, angka kenaikan terinfeksi Covid-19 semakin hari semakin tinggi. Hal ini dengan tidak langsung memaksa tenaga kesehatan yang ada bekerja ekstra untuk menangani pasien karena jumlah tenaga medis yang terus berkurang.
Fenomena ini tentu bukan hal yang normal, bahkan di dalam kondisi yang tidak normal. Beban kerja yang semakin tinggi justru akan membuat tenaga medis lebih rentan terpapar Covid-19 disebabkan turunnya sistem imun akibat kelelahan. Ketika garda terdepan penanganan pandemi mulai berguguran, maka akan semakin sulit untuk menang dari pandemi itu sendiri.
Peningkatan jumlah pasien terinfeksi Covid-19 dengan signifikan bukan tanpa sebab yang jelas. Adanya hari libur nasional yang didukung pembukaan daerah wisata, pemberlakuan new normal hingga prosesi pilkada membuat mobilitas masyarakat semakin masif. Hal ini meningkatkan peluang mereka terpapar oleh virus. Terlebih kerumunan yang tidak terelakan baik saat pencalonan pilkada hingga acara puncak digelar.
Hal ini tidak terlepas dari kepentingan para pejabat untuk mempertahankan eksistensinya memperebutkan kursi panas, bahkan di tengah kondisi pandemi sekalipun. Fakta terkait pelanggaran prokes serta himbauan para ahli untuk menundanya demi menekan jumlah pasien Covid-19 dibantah mentah-mentah. Sama seperti peresmian new normal beberapa bulan lalu.
Melihat fakta ini, telah jelas di hadapan mata bagaimana egoisnya negara dalam mendahulukan kepentingan elit politik dibanding rakyatnya sendiri. Hal ini sejatinya bukanlah hal yang mengherankan. Di tengah sistem demokrasi kapitalistik ini, kepentingan rakyat hanyalah angin lalu.
Para elit politik dengan pemikiran kapitalis hanya memikirkan keuntungan materi yang akan dicapai saat duduk di kursi panas serta memikirkan pengembalian modal kepada para pengusaha pasca pilkada. Pilkada tempo hari sejatinya adalah saat yang tepat untuk mengamankan tempat duduk para elit politik di tengah wabah semata.
Hal ini diperparah dengan konsep sekuler yang ada di tengah-tengah kita. Yang mana pemisahan agama dengan tampuk kekuasaan dilegalkan. Akhirnya para elit politik tidak takut dengan siapa pun bahkan Tuhan sekalipun ketika mereka mengkhianati kepentingan rakyat. Bukankah keegoisan adalah bukti pengkhianatan pada kepentingan rakyat?
Semua pengkhianatan ini sejatinya telah terstruktur dalam bingkai demokrasi itu sendiri yang meniscayakan aturan dibuat oleh manusia semaunya. Para elit itu membuat aturan yang bisa bernilai keuntungan untuk mereka bukan rakyat. Karena dalam diri mereka telah tertanam paham sekularisme yang telah mengakar.
Sehingga, perubahan individu tidak cukup dengan mengembalikan kesejahteraan rakyat, namun diperlukan perubahan sistem. Lalu, adakah sistem yang lebih baik dari sistem yang dibuat oleh Sang Penguasa Alam Raya? [LM/ra]