Solusi Jitu Terbebas dari Jerat Utang
Oleh: Kunthi Mandasari
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Dibutuhkan cepat! Solusi alternatif terbebas dari jeratan utang. Tanpa adanya bunga yang terus berkembang. Tanpa adanya kenaikan pajak yang memberatkan masyarakat. Serta tanpa adanya aset negara yang harus digadaikan. Mungkinkah hal ini bisa diwujudkan?
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir Oktober 2020 tercatat 413,4 miliar dolar AS atau setara Rp 5.877 triliun. Hal ini menobatkan Indonesia masuk jajaran sepuluh besar negara pengutang terbesar di dunia. Data yang dipublikasikan Bank Dunia dalam laporan “Statistik Utang Internasional (IDS)” pada Senin, 12 Oktober 2020, itu menunjukkan Indonesia berada pada peringkat keenam pengutang terbesar (republika.co.id, 27/12/2020).
Sungguh ironis, negara yang memiliki kekayaan melimpah justru terjerat utang yang tak kalah melimpah. Kondisi masyarakatnya pun masih jauh dari kata sejahtera. Dikutip dari laman resmi ADB, Sebanyak 22 juta penduduk Indonesia masih mengalami kelaparan kronis. Jumlah tersebut diperkirakan terus bertambah hingga berkali lipat, mengingat adanya serangan pandemi yang memukul sektor perekonomian hingga mengakibatkan PHK masal.
Alokasi APBN kian dipertanyakan. Mengingat tiap tahun alokasi subsidi bagi masyarakat terus dipangkas, penggenjotan pajak terus diupayakan sedangkan di sisi lain korupsi kian menggurita. Bahkan dana bantuan sosial pun turut diincar untuk mempertebal kantong pribadi di tengah prihatinnya hidup dalam serangan pandemi.
Ironisnya, pandemi Covid-19 yang dituduh sebagai dalang membengkaknya APBN. Kebutuhan pembiayaan APBN 2020 ditargetkan sebesar Rp307,2 triliun atau sebesar 1,76 persen. Kenyataannya pemerintah membutuhkan Rp1.039,2 untuk APBN 2020. Artinya ada kenaikan sekitar 70 persen dari APBN yang dianggarkan (viva.com, 24/12/2020).
Solusi universal untuk mengatasi problem defisit anggaran ini ada 3 (tiga), yaitu: menambah pendapatan; mengurangi belanja; dan berutang baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Di negara-negara kapitalis, cara menambah pendapatan pada umumnya adalah meningkatkan pajak dan kadang dengan mencetak mata uang. Untuk Indonesia, cara yang ditempuh untuk mengatasi defisit anggaran adalah meningkatkan pajak dan berutang (Subiyantoro & Riphat, 2004; Kartikasari, 2010).
Itulah solusi yang ditawarkan sistem sekularisme kapitalisme. Alhasil jumlah utang luar negeri justru kian meningkat tajam. Karena solusi yang kapitalis tawarkan hanya sekadar tambal sulam belaka. Sibuk gali lubang (utang baru) untuk menutup utang yang lama. Jelas, cara ini bukan solusi fundamental. Justru kebijakan ini menambah berat beban negara. Karena dalam transaksi tersebut menggunakan utang ribawi. Artinya setiap tahun bunganya kian beranak pinak.
Padahal Islam sudah mengharamkan riba. Sebagai negara muslim terbesar seharusnya kita menghindari utang dengan akad ribawi. Mengingat dosa terkecil dari riba seperti berzina dengan ibu kandung. Bahkan dalam surah Al-Baqarah ayat 278-280, Allah memperingatkan secara keras terhadap orang-orang yang beriman agar meninggalkan riba. Apabila orang tersebut enggan meninggalkan riba artinya telah mengumumkan perang terhadap Allah dan Rasulullah saw. Naudzubillah.
Utang merupakan watak kapitalis. Tidak mungkin bisa disingkirkan selama sistemnya masih terus diterapkan. Selama sistem kapitalisme diterapkan selama itu pula utang-utang baru akan bermunculan. Dan akhirnya melemahkan kedaulatan sebuah negara. Maka, solusi tuntas menghentikan utang hanya bisa dilakukan ketika sistem kapitalisme ini dicampakkan. Kemudian diganti dengan sistem yang lebih ramah terhadap keuangan.
Ialah syariat Islam yang memiliki aturan paripurna bagi kehidupan. Tidak hanya dalam aspek individu melainkan hingga dalam aspek bernegara. Pengelolaan APBN pun diperhatikan secara cermat sesuai syariat. Begitu pula dalam pendistribusiannya hanya berdasarkan pada syariat. Sehingga tidak ada utang yang menumpuk akibat kelalaian pengelolaan maupun kebocoran anggaran akibat pejabat yang korup. Kesejahteraan pun bisa dirasakan secara merata.
Sayangnya, sehebat apa pun sebuah sistem tidak akan pernah berguna apabila hanya dijadikan pembelajaran/kajian belaka. Sistem tersebut harus diterapkan agar terasa manfaatnya. Maka sudah saatnya kita kembalikan lagi pengaturan hidup kita kepada aturan Sang Pencipta. Mulai dari ranah pribadi hingga ranah bernegara.
Wallahu’alam bish shawab.
[ry/LM]