Politik Dinasti, Wajah Baru Demokrasi Saat Ini

Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2020 yang dilaksanakan awal dan pertengahan Desember lalu semakin menunjukkan penguatan dinasti politik. Sederet kandidat yang terafiliasi dengan pejabat dan mantan pejabat memenangi pesta politik lima tahunan tersebut.

Salah satu contohnya, dari keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) berada dalam deretan tersebut. Putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang berpasangan dengan Teguh Prakosa unggul telak atas pasangan Bagyo-Supardjo di Pilwalkot Surakarta. Bukan hanya anak Jokowi yang ikut serta, namun juga menantunya, yaitu pasangan Bobby-Aulia di Pilwalkot Medan. Pasangan tersebut mengantongi 55,29% suara berdasarkan hasil hitung cepat Charta Politik (katadata.co.id 17/12/2020).

Kemenangan pilkada 2020 oleh keluarga Jokowi menegaskan bahwa demokrasi tidak bisa melepaskan diri dari politik dinasti. Jadi, tidak aneh lagi jika Jokowi mengajak keluarganya untuk ikut berebut kekuasaan di pilkada Desember lalu.

Politik dinasti ala demokrasi biasanya muncul karena adanya keinginan dalam diri ataupun keluarga untuk memegang kekuasaan. Kondisi ini membuat penguasa menjadi tidak terkontrol dan tidak memiliki batasan kekuasaan. Akibatnya korupsi akan semakin merajalela di wilayah tersebut dan rakyat menjadi korban akibat keserakahan penguasa.

Lain halnya dalam sistem Islam, seorang Khalifah minimal harus memenuhi tujuh syarat, yakni laki-laki, muslim, balig, berakal, adil, merdeka, dan memiliki kemampuan. Maka tidak akan mungkin terpilih figur khianat dan beragam tipe pemimpin rusak lainnya. Sistem pemilihan kepala pemerintahan, baik pusat maupun daerah dalam Khilafah, bukan hanya memberikan harapan, namun juga telah terbukti mampu memunculkan sosok pemimpin yang amanah dan bersedia menerapkan sistem penuh berkah yakni syariat Islam yang kaffah.

 

Lilieh Solihah

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis