Layakkah Berkorban untuk Demokrasi?

 

Oleh: Nita Yuliawati
Muslimah Bandung

 

 

Lensamedia.com– Indonesia tetap menggelar pilkada serentak di 207 daerah walaupun di tengah pandemi. Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Prof Wiku Adisasmito menyebut, 45 kabupaten/kota yang akan melaksanakan pilkada serentak adalah zona merah Covid-19. Ini jelas berbahaya (Tribunnews.com, 18/09/2020).

 

Hal serupa diungkapkan oleh Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menyampaikan keprihatinannya terkait banyaknya jumlah calon kepala daerah dan anggota penyelenggara pemilu yang terpapar Covid-19 selama pelaksanaan tahapan pilkada serentak 2020.

 

“Prihatin 70 orang calon kepala daerah terinfeksi Covid-19, 4 orang di antaranya meninggal dunia,” cuitnya melalui akun media sosial Twitter @hamdanzoelva, Jumat (27/11/2020).

 

Tidak hanya calon kepala daerah saja yang terinfeksi Covid-19, tetapi Hamdan juga menyoroti banyaknya anggota penyelenggara pemilu yang juga terinfeksi virus Covid-19.

 

Sepakat dengan ungkapan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, bahwa Demokrasi meniscayakan pengorbanan yang besar serta memakan biaya yang sangat mahal. Sungguh ironis dalam kondisi pandemi pun para elit politik tetap bersikeras untuk tetap melaksanakan pesta demokrasi ini.

 

Bagaimana tidak, pilkada serentak tahun ini adalah plikada dengan jumlah terbanyak dan memiliki posisi yang sangat penting di kancah perpolitikan. Pilkada menjadi momentum untuk memanaskan mesin politik menuju pemilu 2024.

 

Setiap parpol akan mencurahkan segala hal untuk mendorong kadernya agar menduduki kursi kepala daerah. Karena semakin banyak kader yang menduduki kursi kepala daerah maka akan semakin mudah menyongsong kemenangan pemilu 2024. Pelaksanaan pilkada sarat akan kepentingan para elit politik, sehingga kepentingan rakyat dan kemaslahatan umum menjadi prioritas kesekian.

 

Ini bukan hanya berbicara masalah terbajaknya demokrasi oleh oligarki. Lebih dari itu, permasalahan sesungguhnya adalah dari demokrasinya itu sendiri. Inilah “rule of the game” demokrasi, yang menjadi lubang awal masuknya pengkhianatan terhadap amanat rakyat. Nyatanya, selama ini demokrasi tak pernah sukses menjadi alat untuk memilih wakil rakyat.

 

Karena wakil rakyat yang terpilih bukanlah representasi yang sesungguhnya dari rakyat. Politik uang dan awamnya masyarakat terhadap politik, telah menjadikan manuver rendahan politik pencitraan dan sebagai strategi jitu mendulang suara. Begitupun biaya demokrasi yang begitu mahal, telah pula menjadi celah masuknya para cukong untuk semakin menancapkan kekuasaannya. Politik transaksional menjadikan jual beli kebijakan tak terhindarkan.

 

Akhirnya, rakyat hanya gigit jari menerima nasib yang dipimpin para konglomerasi. Kesejahteraan dan keadilan adalah mimpi indah yang tak akan pernah terjadi dalam sistem ini. Saatnyalah rakyat meng-evaluasi sistem ini. Layakkah sistem ini mengatur kehidupan manusia?
Wallahu a’lam bishshawab.

(Ah/LM)

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis