Mungkinkah Mimpi Palestina Merdeka Menjadi Nyata?
Oleh: Kunthi Mandasari
Pegiat Literasi
Lensamedia.com–Setelah Uni Emirat Arab (UEA) dan beberapa negara Timur Tengah resmi menormalisasi hubungan mereka. Kini Arab Saudi pun turut berpeluang besar mengikuti jejak mereka. Melalui Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan mengatakan negaranya terbuka untuk melakukan normalisasi diplomatik dengan Israel. Namun sebelum hal itu terjadi, Palestina harus memperoleh kemerdekaan (Republika.co.id, 06/12/2020).
Menurut pangeran Faisal, Palestina bisa membawa perdamaian sejati di daerah kawasan dan hal itu harus menjadi fokus utama. Salah satu caranya dengan membawa Israel dan Palestina kembali ke meja perundingan yang dianggap sebagai kunci penyelesaian. Apalagi dengan terpilihnya Joe Biden dan Kamala Harris yang dianggap membawa angin segar bagi negeri bagi Palestina.
Pemerintahan baru AS diharapkan bisa membuka jalan bagi penyelesaian konflik Palestina dan Israel. Serta mewujudkan berdirinya negara Palestina yang bebas. Mengingat selama pemerintahan Trump telah melakukan berbagai kebijakan yang merugikan Palestina, salah satunya mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Padahal jika mau berkaca pada sejarah, langkah perdamaian melalui perundingan senantiasa menuai kegagalan. Baik karena pelanggaran maupun karena isi perjanjian yang lebih menguntungkan pihak Israel.
Meski Arab senantiasa berdalih kemerdekaan Palestina adalah hal utama, namun berhembus kabar bahwa Sang Pangeran bertemu secara rahasia dengan perdana menteri Israel, laporan ini diterbitkan oleh media Israel, Walla News dan Haaretz (23/11). Mereka dikabarkan bertemu di Neom, sebuah kota di Laut Merah. Bahkan hal ini dibenarkan pula oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo.
Tentu hal ini menjadi tikaman bertubi-tubi bagi negara Palestina. Kondisi Palestina yang sekarat tak sedikitpun mengetuk nurani pemimpin kaum muslim. Justru hal ini semakin dimanfaatkan untuk memuluskan syahwat mereka untuk berkuasa dan merengkuh harta dunia. Sungguh miris, Palestina yang telah lama berdarah-darah untuk mempertahankan tiap jengkal tanahnya kini harus kembali menelan pil pahit kenyataan dengan adanya pengkhianatan.
Usaha normalisasi Israel dengan negara-negara Timur Tengah tentu terjadi dengan penuh pertimbangan. Jika tidak ada keuntungan, mana mungkin terus diupayakan. Pasalnya dengan adanya perdamaian di negara-negara Timur Tengah, negara Yahudi berpeluang mendapat untung besar. Selain bisa mempermulus pendudukan Israel atas Palestina, militer Israel juga mendapat sokongan dari negara UEA dan Bahrain.
Dikutip dari Pikiran-Rakyat.com dari Middle East Monitor, hal ini sebagaimana dilaporkan wartawan majalah Haaretz Israel, Hagai Amit Amit mengatakan kalau ratifikasi perjanjian normalisasi hubungan Israel-Bahrain adalah awal baru bagi musim semi Arab-Israel. Tambahan keuntungan dari perdamaian itu bagi Israel berhubungan dengan industri persenjataan milik Amerika Serikat.
Alhasil, upaya normalisasi hanya untuk kepentingan pihak-pihak di dalamnya dengan mengabaikan Palestina. Maka tidak seharusnya ada harapan yang perlu disemai lagi melalui pemimpin sekuler-kapitalis. Jika kemerdekaan Palestina yang menjadi tujuan, maka hanya ada satu harapan, yaitu melalui Khilafah Islamiyyah.
Khalifah selaku kepala negara akan menyerukan jihad fii sabilillah untuk membebaskan tanah Palestina. Sebagaimana pernah dilakukan di masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khaththab hingga Salahudin Al Ayubi. Maka jalan satu-satunya adalah dengan mengupayakan berdirinya Khilafah Islamiyyah. Memahamkan umat akan pentingnya penerapan hukum syariat untuk menyelesaikan seluruh permasalahan yang ada.
Wallahu a’lam bishshawab.
(Ah/LM)