Demokrasi Langgengkan Praktik Korupsi
Oleh: Rana Shofwatul Islam
(Muslimah Penulis Peradaban)
Lensa Media News – Belum surut berita ditangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, tinta merah korupsi pejabat negara kembali tertoreh di Indonesia. Menteri Sosial, Juliari Peter Batubara, menjadi tersangka dugaan korupsi penyaluran bantuan sosial Covid-19 dalam operasi tangkap tangan (OTT) Pejabat Kementerian Sosial oleh KPK pada tanggal 5 Desember 2020.
Penangkapan ini merupakan buntut dari ditangkapnya dua Pejabat Pembuat Komitmen (PKK) dalam pengadaan dan penyaluran bansos untuk penanggulanan Covid-19 dari Kemensos. Diketahui pada setiap Rp 300.00 besaran paket bansos, didapatkan fee sebesar Rp 10.000 untuk disetorkan kepada Kemensos. Sehingga total dana suap yang diterima Mensos adalah sebesar Rp 17 miliar, dengan barang bukti berupa uang yang dimasukkan ke dalam tujuh koper berukuran besar, sedang, dan kecil (Kompas, 6/12/2020).
Memang korupsi di negara ini tidak lagi menjadi peristiwa mengejutkan yang jarang dijumpai. Korupsi telah menjadi sarapan sehari-hari bagi rakyat. Begitu parahnya, hingga dana bantuan sosial penanggulan Covid-19 yang notabenenya adalah bencana nasional (sesuai Keppres Nomor 12 Tahun 2020) tak luput menjadi target korupsi.
Wacana Hukuman Mati
Dalam Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi, korupsi dalam pengelolaan keadaan tertentu, termasuk bencana, dapat dijatuhi pidana mati. Ketua KPK sendiri, Firli Bahuri, menegaskan bahwa KPK terus bekerja berdasarkan saksi dan bukti-bukti untuk menilai apakah tindakan korupsi dana bansos ini termasuk dalam pasal 2 ayat 2 UU Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi tersebut.
Wacana hukuman mati bagi koruptor bahkan telah ada sejak tahun 2019, ketika itu Menkopolhukam, Mahfud MD menegaskan bahwa dirinya sejak dulu sudah setuju hukuman mati bagi koruptor, beliau menganggap koruptor merusak nadi dan aliran dana suatu bangsa, dikutip dari YouTube Kompas TV Selasa (10/12/2019). Tidak kali itu saja, Mahfud MD berulang kali berbicara mengenai hukuman mati bagi koruptor, bahkan ketika beliau masih menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, benarkah hukuman ini akan benar-benar dilakukan pada Mensos, yang jelas-jelas melakukan tindak pidana korupsi suap penyaluran bansos pada bencana nasional Covid-19? Dalam dialognya dengan Kompas TV, Mahfud MD menyatakan syarat-syarat berlakunya Pasal 2 Ayat 2 UU Tipikor bahwa negara sedang tidak dalam keadaan berbahaya, sedang mengalami krisis ekonomi dan krisis moneter, dan sedang menghadapi bencana alam nasional. Mahfud MD menilai bahwa KPK akan sulit menemukan kaitan antara syarat-syarat dalam UU Pasal 2 Ayat 2 UU Tipikor dengan kasus korupsi yang dilakukan oleh Mensos Juliari.
Wajah Asli Demokrasi
Inilah wajah asli demokrasi. Praktik oligarki berkembang luas, yaitu ketika kekuasaan negara ada di tangan elit minoritas untuk memonopoli kekayaan. Terbukti dalam praktik demokrasi, kekuasaan selalu dipangku oleh kaum elit, yaitu para kapitalis, elit partai dan kelas politik. Mahalnya ongkos politik pun menjadi penyebab adanya korupsi, di samping keserakahan pelaku sendiri.
Undang-undang dibuat oleh manusia dengan mengedepankan nafsunya. Penguasa dan pengusaha memiliki privilige (kewenangan khusus) untuk seenaknya membuat dan mengubah undang-undang yang akan meloloskan mereka dari jerat hukum. Selama kedaulatan di tangan penguasa dengan mengatasnamakan rakyat, kasus korupsi akan langgeng dan pelakunya akan melenggang mulus tanpa hambatan.
Solusi Islam
Hanya Islam, satu-satunya sistem yang memberikan kejelasan hukum dan definisi batasan yang baku seputar harta yang didapat dari kecurangan. Pertama: Islam telah mengharamkan segala bentuk suap (riswah) untuk tujuan apapun. Kedua: dalam Islam, pejabat negara juga dilarang menerima hadiah (gratifikasi). Ketiga: Termasuk dalam kategori kekayaan gelap pejabat menurut Islam adalah yang didapatkan dari komisi/makelar dengan kedudukannya sebagai pejabat. Keempat: Islam menetapkan bahwa korupsi adalah salah satu cara kepemilikan harta haram.
Dan Islam memberikan sejumlah hukuman yang berat kepada pelaku korupsi, suap, dan penerima komisi haram. Pada masa Rasulullah SAW. Pelaku kecurangan akan disita hartanya, di-tasyhir, atau diumumkan kepada khalayak. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab pun terdapat kebijakan untuk mencatat harta kekayaan para pejabat sebelum dan sesudah menjadi pejabat. Pelaku suap, korupsi, atau penerima gratifikasi juga bisa diberi sanksi penjara hingga hukuman mati sesuai keputusan qadhi sebagai ta’zir dalam sistem pidana Islam.
Pemberantasan korupsi akan menjadi hal yang mudah dalam Islam, karena negara dan masyarakatnya dibangun atas dasar ketakwaan. Sumber hukum yang berlaku pun berasal dari wahyu. Oleh karena itu, sudah saatnya umat kembali kepada syariat Islam secara sempurna dan menyeluruh, yang datangnya dari Allah SWT. dan kembali menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Wallahu a’ lam bish showab.
[ry/LM]