Pilkada Dimasa Pandemi, Nyawa Tak Berarti
Oleh: Nayla Sofiy Arina
(Mahasiswi)
Lensa Media News – Pandemi virus Covid-19 yang terus mengganas tak ada yang tahu kapan akan berakhir. Grafik penularan Covid-19 pun masih menunjukkan peningkatan bahkan tidak menyurutkan keinginan Pemerintah Indonesia untuk tetap mengadakan perhelatan pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak beberapa hari lagi, tepatnya 9 Desember 2020.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva mengungkapkan keprihatinannya karena 70 orang calon kepala daerah terinfeksi virus Covid-19. Jumlah ini tentu bukan jumlah yang sedikit. Hamdan mengatakan, informasi yang dimilikinya sudah sebanyak 4 orang calon kepala daerah meninggal dunia karena terjangkit virus Covid-19. Untuk itu masyarakat jangan anggap enteng virus Covid-19 (viva.com, 28/11/2020).
Karena itu, akan menjadi keniscayaan jika pilkada 2020 dimasa pandemi tetap dilaksanakan maka akan menjadi klaster baru penyebaran Covid-19 dimana terdapat ribuan titik kumpul massa, baik saat kampanye, pemungutan dan perhitungan suara, pengumuman pemenang hingga pelantikan paslon.
Meskipun ada himbauan agar penerapan protokol kesehatan dilaksanakan secara ketat selama pilkada berlangsung tak akan menjamin menurunnya angka penyebaran Covid-19. Faktanya protokol kesehatan tetap dilanggar oleh masyarakat.
Beberapa kalangan mengusulkan agar Pilkada 2020 harus ditunda melihat meningkatnya korban yang terinfeksi virus Covid-19. Menanggapi usulan penundaan tersebut Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan penundaan hanya bisa dilakukan lewat UU atau perppu.
Untuk UU, waktu sudah tidak memungkinkan, sedangkan untuk pembuatan perppu, belum tentu mendapatkan dukungan DPR. Maka, pernyataan Menko Polhukam atas kekhawatiran penundaan Pilkada beresiko mengalami kekosongan kepimpinan karena masa jabatan kepala daerahnya berakhir.
Telah nampak jelas bahwa kesehatan, keselamatan dan kelangsungan hidup masyarakat menjadi tak berarti ketika Pilkada 2020 tetap dipaksakan. Lantas mengapa Pemerintah masih keras hati dan nekat melaksanakan Pilkada di masa pandemi ini?
Dalam sistem demokrasi, menempatkan kedaulatan ada ditangan rakyat. Penguasa mendapat modal besar dari pengusaha untuk berkuasa. Setelah penguasa mendapatkan kekuasaan maka para pengusaha mendapatkan kompensasi berupa proyek. Begitulah mekanisme praktik-praktik politik yang terjadi dalam demokrasi.
Kedaulatan ditangan rakyat hanya sebagai pelengkap untuk memperindah bagaimana sistem ini bekerja. Faktanya justru yang terjadi rakyat hanya dibutuhkan ketika saat-saat tertentu. Para paslon melakukan segala cara apapun untuk mengambil hati dan menarik suara rakyat demi mendapatkan kursi kekuasaan dan yang terjadi setelahnya penguasa memalingkan wajah dari rakyat.
Bahkan, membuat peraturan perundang-undangan yang berpihak pada cukong kapitalis. Hal ini terjadi karena negara menerapkan sistem kapitalisme yang memprioritaskan segala hal yang berkaitan dengan perekonomian dan mengabaikan kepentingan rakyat banyak.
Memaksakan pilkada ditengah pandemi membuktikan demokrasi tak memandang keselamatan dan kelangsungan hidup masyarakat menjadi fakta bahwa demokrasi tak manusiawi. Rakyat seolah dipaksa untuk menyerahkan nyawa demi melancarkan kepentingan-kepentingan politik, kekuasaan, dan ekonomi. Lantas, layakkah pengorbanan besar diberikan untuk sistem rusak saat ini?
‘’ Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).’’ (Q.S Ar-Rum:41)
Sikap Pemimpin dalam Islam
Dalam sistem sekular demokrasi akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang minus ruhiyah, pengkhianat, zalim, ingkar janji, dan hanya mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya dibanding kepentingan rakyat yang ada dalam tanggung jawabnya hingga berani mencampakkan peran Allah SWT dalam pengaturan kehidupan .
Sangat bertolak belakang dengan sistem Islam, dimana kedaulatan ada di tangan syara’ segala pengaturan berasal dari sang Maha Sempurna, Allah SWT. Semua pihak baik penguasa maupun rakyat akan tunduk pada hukum syara’. Bukan atas kepentingan pribadi, sebab pemimpin dalam sistem Islam akan mengutamakan menjalankan amanah besar yang dibebankan padanya sesuai tuntunan syara’.
Sikap tawadhu dan meyakini bahwa semua amanah akan dipertanggungjawabkan di hari kemudian hingga tak ada kesan jumawa apalagi haus akan kekuasaan. Model kepemimpinan seperti ini memang takkan pernah ditemukan dalam model kepemimpinan manapun hanya akan ditemukan dalam kepemimpinan dari sistem Islam yakni Khilafah ‘ala min hajinnubuwwah.
Wallaahu a’lam bi ash-shawwab.
[ry/LM]