Pilkada 2020 : Antara Kekuasaan dan Nyawa Rakyat
Oleh: Miladiah Al-Qibthiyah
(Pegiat Literasi dan Media)
Lensa Media News – Sampai hari ini pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda kepergiannya. Makin hari makin banyak pasien korona berjatuhan, pun dengan para tenaga medis semakin banyak yang berguguran. Hal ini semakin membuktikan bahwa korona adalah penyakit berbahaya dan perlu langkah serius untuk mencegah agar tak ada lagi korban yang meninggal dunia akibat korona.
Di sisi lain, pemerintah justru memutuskan untuk tetap menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) di tengah ancaman pandemi virus corona. Sejumlah pihak mendesak agar Pilkada ditunda, termasuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan dua ormas terbesar Indonesia. Namun, hal itu tak cukup membuat pemerintah berubah pikiran.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) Wijayanto menganggap, Pilkada 2020 di tengah ancaman Covid-19 hanya untuk melenggangkan kepentingan elit oligarki. Sebab, pemerintah tak lagi mendengar kehendak publik yang menginginkan penundaan Pilkada 2020.
Perhelatan Pilkada berpotensi menjadi klaster baru penyebaran covid. Bagaimanapun upaya menjalankan protokol kesehatan, sudah ada ribuan titik kumpul massa baik saat persiapan pra kampanye, saat kampanye, masa pencoblosan, hingga masa perhitungan suara. Demokrasi hanya mementingkan kekuasaan dan acuh terhadap penanggulangan pandemi yang sudah menyebabkan kematian ribuan orang. Ironi, angka kematian hanya dianggap sebagai angka statistik.
Terang saja, para elit politik mementingkan kepentingan pribadi dan golongan. Tanpa perhelatan, korona akan selalu mengintai siapa saja dan dimana saja. Apalagi dengan disengaja menggelar kerumunan dalam hal ini adalah Pilkada di tengah pandemi, sangat berisiko memakan banyak korban.
Fenomena ini semakin menampakkan betapa rapuhnya demokrasi dalam sejarah politik di negeri ini. Para elit acuh terhadap aspirasi publik, yang ada justru menjerumuskan rakyat dalam situasi yang unpredictable.
Beberapa riset menyebut bahwa demokrasi di Indonesia saat ini mengalami kemunduran dan salah satunya disebabkan oleh rendahnya kepercayaan kepada elit politik. Lebih jauh lagi, publik akan kecewa dan membuat kepercayaan mereka terhadap penguasa negeri semakin menurun sebab mereka diperhadapkan dengan maut. Berada pada kerumunan di masa pandemi, tentu nyawa akan menjadi taruhannya. Rakyat yang menjadi benteng terakhir menekan laju penyebaran covid, bisa saja tumbang secara massal.
Terkait masalah pemilihan di dalam tinjauan syariah Islam, hal tersebut tidak diperlukan atau diadakan, apatah lagi membuang energi, biaya dan waktu. Sebab, pejabat pemerintahan atau wali di suatu wilayah daulah Islam diangkat secara langsung oleh Khalifah atau orang yang mewakili Khalifah dalam melaksanakan pengangkatan tersebut. Wali tidak diangkat kecuali oleh Khalifah.
Hal ini berdasarkan aktivitas Rasulullah Saw. yang telah mengangkat para wali di berbagai wilayah. Beliau menetapkan bagi mereka hak memutuskan persengketaan di masing-masing wilayah.
Hal mendasar dari kepemimpinan daerah bukan apakah pemimpin daerah itu dipilih rakyat atau tidak. Yang mendasar adalah pengaturan dan pemeliharaan berbagai urusan, kepentingan dan kemaslahatan rakyat benar-benar terwujud. Imam al-Mawardi, ulama mazhab Syafii, di dalam Al-Ahkâm as-Sulthâniyah (hlm. 3) menyatakan, “Sungguh Allah Yang Mahatinggi kekuasaan-Nya menyuruh umat mengangkat pemimpin untuk menggantikan kenabian, melindungi agama dan mendelegasikan kepada dirinya as-siyâsah (pemeliharaan urusan umat) agar pengaturan itu bersumber dari agama yang masyru’, dan agar kalimat menyatu di atas pendapat yang diikuti. Karena itu Imamah (Khilafah) adalah pokok yang menjadi fondasi kokohnya pilar-pilar agama dan teraturnya kemaslahatan-kemaslahatan umat.”
Maka dari itu, meskipun terjadi wabah di suatu wilayah, pengangkatan seorang kepala daerah tetap berlangsung tanpa melibatkan rakyat secara keseluruhan khususnya rakyat yang terjangkit. Tanpa takut bercampur baur antara si sakit dan yang sehat. Sebab selain Khalifah mengunci area wabah guna memisahkan yang sakit dan yang sehat, juga sebab kepala negaralah yang menunjuk dan mengangkat seorang wali.
Wallaahu a’lam bi ash-shawab.
[ry/LM]