Pilkada saat Pandemi: Pengorbanan atau Dikorbankan oleh Demokrasi?

Oleh: Asha Tridayana

 

 

Lensamedia.com– Sebentarlagi negeri ini akan mengadakan pilkada serentak. Tepatnya pada 9 Desember 2020, seluruh lapisan masyarakat akan berkumpul di tempat pemungutan suara (TPS) untuk melakukan pencoblosan dalam rangka memilih pasangan calon (paslon) yang didukung. Padahal kondisi negeri masih dirundung pandemi, yang jumlah korban positifnya masih terus bertambah. Namun, hal ini tidak menghalangi pelaksanaan pilkada dengan dalih tetap mempertahankan protokol kesehatan.

 

Tidak dapat dipungkiri, tentu hal ini menimbulkan kekhawatiran di tengah-tengah masyarakat. Terbukti sebelum pilkada dilaksanakan, beberapa paslon dan penyelenggara pemilu telah terkonfirmasi positif Covid-19. Dilansir dari News.detik.com (05/11/2020), bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menunda debat paslon Pilkada Kepri 2020. Sebab, tiga anggota KPU setempat dinyatakan positif Covid-19.

 

Hal senada juga disampaikan oleh Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva pada akun Twitter-nya yang turut prihatin pada 70 orang calon kepala daerah yang terinfeksi Covid-19. Empat orang di antaranya meninggal dunia. Kemudian ada 100 orang penyelenggara termasuk Ketua KPU RI juga terinfeksi. Hamdan pun mengatakan begitu besarnya pengorbanan untuk demokrasi dan meminta memperketat protokol kesehatan, sehingga kasus penularan Covid-19 dapat ditekan (Bisnis.com, 28/11/2020).

 

Pilkada di saat pandemi telah menyebabkan banyak rakyat terpaksa terinfeksi Covid-19. Penerapan sistem demokrasi kapitalis menuntut pengorbanan yang seharusnya tidak terjadi. Sungguh tidak layak, sistem yang selama ini dipertahankan justru mempertaruhkan keselamatan rakyat. Terlihat jelas banyak paslon dan anggota KPU telah menjadi korban. Padahal pilkada serentak belum berlangsung.

 

Tidak dapat dipungkiri, jika pelaksanaan pilkada akan menjadi klaster baru penyebaran Covid-19. Adanya protokol kesehatan tidak dapat menjamin terhidar dari virus. Mengingat fakta di lapangan, tidak ada pilkada pun jumlah korban positif terus meningkat. Apalagi saat pilkada yang kemungkinan besar tetap terjadi kerumunan masa.

 

Lagi-lagi, rakyat seolah hanya menjadi alat untuk mencapai kedudukan. Para penguasa dengan pasokan dana dari para kapitalis berlomba memperebutkan kursi tertinggi. Hingga keselamatan jiwa rakyat dengan mudah diabaikan. Keberadaan rakyat bukan lagi prioritas karena hanya keuntungan dan materi yang menjadi tujuan. Negeri dengan penerapan sistem demokrasi kapitalis hanya akan menghasilkan pemerintahan yang haus kekuasaan. Segala cara dapat dilakukan dan hal ini sudah menjadi rahasia umum bahwa demokrasi hanya milik penguasa dan pemilik modal. Tidak ada yang bisa diharapkan dari pemerintahan yang menganut demokrasi, hanya kekecewaan karena berulang kali rakyat dikorbankan.

 

Tentu pengorbanan yang tidak layak tersebut tidak akan terjadi jika negeri ini menerapkan sistem Islam. Pemilihan pemimpin dilakukan tanpa campur tangan para kapitalis selaku pemilik modal yang mempunyai kepentingan tertentu. Sistem Islam akan menghasilkan pemimpin yang amanah karena setiap kebijakan yang dibuat selalu berdasarkan syariat Islam. Pemimpin menyadari bahwa segala yang dilakukannya akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Justru menjadi ketakutan terbesar jika ada rakyatnya yang sampai terzalimi selama menjadi pemimpin.

 

Selain itu, proses pemilihan dilakukan dalam waktu singkat. Tanpa kampanye seperti sistem demokrasi. Sehingga tidak ada pencitraan apalagi berlomba melakukan bermacam cara hingga menghabiskan milyaran dana. Dalam sistem Islam pemimpin diperoleh dengan cara bai’at yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Rakyat memilih dengan keikhlasan hati, tanpa paksaan dan janji-janji dari kalangan tertentu yang ingin meraih kekuasaan.

 

Untuk itu, seorang pemimpin harus memenuhi tujuh syarat. Pertama, seorang muslim agar dapat memahami syariat Islam sepenuhnya. Kedua haruslah laki-laki, seperti sabda Rasulullah SAW: “Tidak akan beruntung kaum yang perkaranya dipimpin oleh seorang wanita” (HR. Bukhari).

 

Ketiga, baligh dengan kata lain telah terikat hukum syara’ sehingga segala perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan. Keempat, berakal agar dapat menetukan baik atau buruk saat memutuskan kebijakan. Kelima, merdeka bukan budak dan tawanan musuh. Keenam, adil sesuai syariat Islam. Lalu ketujuh, memiliki kemampuan dalam mengurusi rakyat.

 

Maka dengan dipenuhinya tujuh syarat tersebut, seorang pemimpin dalam Islam akan bersungguh-sungguh menjalankan amanah yang diembannya. Menjadikan syariat Islam sebagai landasan dan standar dalam mengambil setiap keputusan. Keberadaan rakyat benar-benar menjadi tanggung jawab dan berusaha menjamin setiap kebutuhan dan keselamatannya menjadi prioritas. Kondisi semacam ini bukanlah ilusi belaka. Namun dapat terwujud dengan cara menegakkan kembali syariat Islam secara keseluruhan. Tentunya dalam bingkai Khilafah yang mampu menjamin penerapan syariat Islam kaffah tanpa terkecuali.

 

Wallahua’lam bishshawab.

(Ah/LM)

Please follow and like us:

Tentang Penulis