Oleh Julie Murod

 

Aku tak pernah tahu sejati bilang angka
Aku tak pernah tahu hakiki eja kata
Aku buta tak mengenal indahnya a-ba-ta-tsa
Hingga lembut tuturmu mengenalkannya

 

Aku, dia dan mereka adalah hamba hina
Yang ringkih jiwa raga lagi jumawa
Yang tak tahu malu dilingkari berjuta buta kata
Yang merasa pandai padahal dusta

 

Engkaulah tetes hujan bening itu
Mengaliri, menyejuki tak pandang siapa aku
Engkau tak bermuka seperti proxy negeriku
Sejuk sinar matamu bak palu hancurkan egoku

 

Engkau bagai tetes hujan
Membasahi gersangnya hati dan akalku
Yang tersesat dalam gelap makna
Yang lalai pada kampung keabadian
Hingga tersibak dinding tebal berkarat
Menunjuki benderangnya akhirat
Menunjuki jalan bagai suluh berkilauan
Tak pernah redup sekalipun berjuta cobaan

 

Hidupmu jauh dari taburan bunga
Onak duri dan kesulitan selalu menghadang
Namun tak sekalipun engkau meradang
Cinta tulus dan nasehatmu yang terkenang

 

Engkaulah suluh benderang tiap hati
Engkaulah penguat lemah raga bak nutrisi
Dan aku tetaplah muridmu yang fakir sejati

 

Terkenang jelas di sanubari
Ulur tanganmu membuatku berdiri
Menapaki kejamnya jalan penuh duri

 

Wahai guru kehidupan bumi
Kejamnya zaman kadang menggerus ideologi
Membenakkan luka sebab effort dikebiri
Namun usah risau sebab engkau matahari

 

Dunia gulita tanpa suluh tunjukmu
Dunia sepi tanpa riuh suaramu
Dunia anyir tanpa semerbak harummu
Dunia berakhir tanpa hadirmu

 

Wahai guru kehidupan
Jasamu membumbung hingga langit
Tak terhingga, tak membilang jumlah
Terima kasih tak cukup membilangnya

 

Surga-Nyalah hadiah terbaik untukmu
Tempat kembali terindah menuai jerihmu
Jika tak menjumpaiku di sana, mohon cari aku
Tersebab aku muridmu

 

Didedikasikan untuk seluruh guru.
Palembang, 25 November 2020
***

 

“Aku adalah hamba dari siapa pun yang mengajariku walaupun hanya satu huruf. Aku pasrah padanya. Entah aku mau dijual, dimerdekakan atau tetap seorang hamba.”
(Ali bin Abi Thalib)

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis