Oleh : Sunarti

 

“Alhamdulillah, sah,” suara hadirin di Masjid Besar Kauman yang terletak di tengah Kota N.

 

Doa sang Ustad mengalun syahdu mengiringi wajah-wajah berbinar di seisi masjid. Khidmat wajah ceria terkuatkan dengan nuansa sejuk ruangan luas bernuansa hijau lumut. Perasaan bahagia tertuang dalam kelegaan masing-masing dari keluarga Pratiwi dan Fahmi yang telah sekian lama dengan sabar menyibak keangkuhan dua keluarga tersebut.

 

Pratiwi sesenggukan di serambi masjid bersama ibundanya dan saudara-saudara perempuannya. Fokus pikirannya hanya rasa syukur berkali kepada Sang Pemilik Hati. Terbukanya hati kedua keluarga, adalah hadiah Sang Pencipta yang istimewa untuk dirinya. Luluhnya kedua keluarga untuk bisa saling menerima mereka adalah karunia yang tidak akan pernah dia lupakan.

 

“Alhamdulillah, ya Allah. Semoga dengan rida mereka, kami bisa menjalin bahtera rumah tangga dengan ketaatan terhadap Mu. Aamiin,” ucap lirih Pratiwi diiringi sujud syukur.

 

Hampir tiga purnama, kehidupan calon pengantin ini diterpa pergolakan dari pihak keluarga Pratiwi maupun keluarga Fahmi. Berlatar belakang anak panti asuhan, membuat keluarga Pratiwi menolak keras perjaka tampan dan mandiri. Meskipun, status anak panti asuhan telah bergeser, namun di mata ayah dan ibu Pratiwi, Fahmi hanyalah sosok debu yang dibawa ke istana. Ditambah lagi dengan usia Pratiwi yang terpaut jauh di atas Fahmi.

 

Sama halnya dengan keluarga angkat Fahmi. Pratiwi bukanlah sosok gadis perawan. Meskipun kini telah hijrah menjadi sosok yang taat terhadap hukum-hukum Allah, noda hitam Pratiwi masih dilihat melekat oleh keluarga besar Fahmi. Pratiwi di masa belasan tahunnya telah tercebur ke dalam lumpur noda maksiat. Sekali sentuh lelaki berseragam putih abu-abu membuat ketagihan dan berakibat terhenti tamu bulanannya.

 

Pilihan lari dari rumah mereka tempuh untuk menghindari cibiran dan ejekan serta amarah orang tua. Beruntung, pria berseragam putih abu-abu, bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhan Pratiwi di tempat pelarian hingga embrio tumbuh menjadi janin dalam rahimnya mendesak untuk melihat dunia luar.

 

Yah, anak Pratiwi lahir dengan selamat di sisi kekasih pujaannya, Rehan. Sayangnya, Rehan tidaklah setia hingga ujung asa. Setelah noda yang dia rasa sudah dibersihkan, dia tinggalkan Pratiwi dengan segebok amplop cokelat berisi rupiah. Berita ini telah dilacak oleh keluarga angkat Fahmi dan inilah alasan kuat mereka, menolak Pratiwi menjadi bagian keluarga.

 

Kali ini, Allah berkehendak lain. Kebekuan hati kedua keluarga telah mampu diluluhkan oleh Fami maupun Pratiwi dengan kesabaran. Memahamkan kedua belah pihak dengan berbagai upaya. Hingga hari ini terlaksana akad nikah mereka berdua.

 

***

 

“Tidaaaaaaakkkkk …. Jangan mendekat Fahmi. Kumohon …,” teriak Pratiwi di malam pertama mereka yang telah tertunda beberapa hari setelah walimah di rumah kedua keluarga secara bergantian.

 

Sesuai kesepakatan kedua belah keluarga, pasca pernikahan Fahmi membawa Pratiwi ke rumah besar di ibukota. Fahmi yang mandiri telah menyiapkan tempat tinggal untuk istri dan anak-anaknya kelak.

 

Namun, alangkah kagetnya Fahmi, saat dia hendak memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami dan hendak meminta haknya kepada Pratiwi. Tak terbersit sedikitpun jika Pratiwi yang telah melahap pengetahuan Islam, menjadi seorang guru fiqih, bahkan, dengan jelas-jelas dan tegas menolaknya malam ini.

 

Pikiran Fahmi tiba-tiba kosong. Otaknya yang telah siap bekerja menumpahkan segala yang berdenyut, kini serasa hancur berkeping-keping. Istighfar lirih tertahan. Dadanya berdesir, ngilu.

 

“Dek, Pratiwi, kamu sakit?” tenang namun berat nada Fahmi terlontar.

 

“Tidak, tidak, kumohon, kenakan kembali pakaianmu dan keluarlah!” Kini nada Pratiwi lebih rendah dibanding dengan penolakan pertama. Bukan amarah, tapi isak tangis yang keluar. Tubuhnya menggigil di bawah selimut tebal. Berusaha menutupi dari pandangan Fahmi. Takut.

 

“Sungguh, aku tak mengerti. Ada apa? Apa engkau masih trauma dengan masa lalumu?” tanya Fahmi masih tak mengerti.

 

Tubuh tegapnya telah beringsut dari bagian kanan Pratiwi. Langkah gagahnya hilang. Gontai dia beranjak dari tempat tidur. Sementara bibirnya tak henti beristighfar.

 

“Dek, Susi Pratiwi adakah yang salah denganku?” tenang suara Fahmi.

 

Namun napas tertahan tidak bisa disembunyikan. Dadanya masih sesak dan ubun-ubun masih terasa panas. Sesuatu yang belum bisa dikendalikannya.

 

“Tidak mungkin Fahmi. Tidak mungkin. Pernikahan ini harusnya tidak terjadi. Kita telah berdosa. Kita telah berdosa,” teriak Pratiwi seolah hilang kendali. Kacau kini suasana hatinya.

 

“Katakan, apa itu dan di mana salahnya?” jawab Fahmi.

 

Kali ini dia memuntahkan kekesalannya. Tidak bisa lagi menyembunyikan rasa dongkol yang luar biasa. Berdiri, berkacak pinggang, menyunggar rambut hitam cepaknya, mengusap muka berkali-kali dan hampir mulutnya mengumpat.

 

“Jaaa …. Astagfirullah, astagfirullah, Yaa Allah, ampunkan hamba …” limbung dan tertunduk di sisi ranjang. Entah apa yang terjadi di otaknya.

 

“Pratiwi, katakan! Jika engkau trauma dengan masa lalumu aku bisa terima. Akan tetapi jika engkau menyalahkan pernikahan ini, tunjukkan di mana itu,” kata Fahmi yang sekonyong-konyong berdiri dan menerkam Pratiwi.

 

Pratiwi semakin ketakutan. Isaknya semakin menjadi raungan. Dia meronta sekuat tenaga. Namun selimut tebal telah ditindih kuat oleh Fahmi. Bola mata hitam Fahmi bak malam melegam menenggelamkan. Sedetik beradu dengan mata Pratiwi yang bening menawan.

 

Ketakutan semakin menjadi, tatkala bayangan Rehan berada di hadapannya. Mata hitam legam Rehan ada dalam bola mata yang kini beradu dengannya. Desir ketakutan mendera dada Pratiwi.

 

“Kamu anak Rehan, kamu anak Rehan, kamu anakku. Jadi kumohon jangan sentuh aku!” di sela napasnya yang terengah, Pratiwi meninggikan suara penuh permohonan.

 

Ucapan itu bagai petir menyambar telinga Fahmi. Panas melebihi mata bara nan menyiram dadanya.

 

“Apaaa ….? Bagaimana maksudmu? Ah, aku tak mengerti. Chuuuiiihhh, ternyata kau masih mengingat pria brengsek itu. Munafik, kau.” Batas kesabaran Fahmi meletus. Mukanya memerah. Degup jantungnya semakin kuat.

 

Berusaha mencari pelampiasan agar panas di wajahnya mereda pada wanita yang menyandang gelar istri sahnya itu. Tak ada yang salah bukan? Ini istriku. Pratiwi hanya trauma dan masih mengingat pria banjingan di masa mudanya. Batin Fahmi.

 

“Tidak Fahmi. Kumohon. Tanda lahir di dadamu itu, adalah tanda lahir anakku. Anak Rehan. Fahmi kumohon!” teriak Pratiwi tersendat-sendat dengan upayanya menolak wajah Fahmi.

 

“Katakan tanda lahir anakmu apa? Di sisi mana? Atau engkau hanya mengingat pria brengsek itu?” geram Fahmi.

 

“Di dada kananmu Fahmi, berupa bundaran hitam dekat puting bagian dalam, di atasnya dua pasang tahi lalat timbul. Fahmi, kau anakku. Kumohon jangan kau lanjutkan. Fahmi kau anakku,” sesenggukan Pratiwi menjelaskan.

 

Fahmi yang kalap bagai tersambar petir untuk yang kedua kalinya. Petir yang benar-benar dahsyat yang baru ditemui seumur hidupnya. Dan itu telah membuat seluruh syaraf terputus dalam raga gagahnya. Bagaimana mungkin ini terjadi?

 

Ingatan Pratiwi kembali ke masa silam, di saat dirinya terpuruk oleh kekasihnya. Rehan.

 

“Suster, anak saya?” tanya Pratiwi kala itu.

“Iya, Mbak. Anaknya sedang bersama suami Mbak di ruang bayi,” jawab perawat dengan nada ramah.

“Oh, ya sudah. Sehat kan anak saya, Sus?”

“Iya, Mbak. Alhamdulillah. Anak Mbak sehat dan sangat tampan.”

 

Dua jam, tiga jam, bayi Pratiwi tidak segera dibawa suster ke tempat tidurnya. Bahkan setelah berada di ruang perawatan ibu bersalin, Pratiwi tidak segera dipertemukan dengan anaknya. Rehan juga tak tampak batang hidungnya. Kenapa suster lama tidak memberikan anakku? Apa dia terlalu bahagia? Batin Pratiwi selalu berbaik sangka.

 

Hingga saat suster jaga berganti, Pratiwi belum dipertemukan dengan buah hatinya. Meskipun anak di luar nikah, entahlah, Pratiwi memiliki rasa sayang yang tak terhingga. Bahkan, saat Rehan memintanya untuk digugurkan, dia bersikeras akan tetap melahirkan meski dengan atau tanpa Rehan.

 

Ternyata, Rehan memilih menurut akan permintaan Pratiwi. Hal itu bertahan sampai seorang perawat menyerahkan satu koper pakaian, satu amplop cokelat dan sebuah hp.

 

“Mbak, ini tadi, kata temenku dari suami Mbak. Ini saya serahkan. Oh, ya, biaya persalinan dan seluruh administrasi sudah dibayar lunas oleh suami Mbak sampai dua hari ke depan,” kata perawat itu.

 

Pratiwi terkejut. Berkali-kali dan sederet dia lontarkan pertanyaan kepada perawat, namun jawabannya sama, perawat hanya menggeleng.

 

“Mbak buka saja HPnya, barangkali ada informasi dari suami Mbak,” kata perawat sambil berlalu.

 

Kacau. Pratiwi benar-benar merasa tak lagi ingin hidup. Dia berteriak sejadi-jadinya. Membuat seisi ruang perawatan ibu bersalin gaduh. Beberapa perawat dengan penuh kesabaran menenangkannya. Dan hal itu berlangsung selama dua hari di ruangan yang sama. Pratiwi hisiteris.

 

Hari ketiga, Pratiwi dijemput seorang paruh baya yang mengaku asisten Rehan untuk menjemput dan mengantarkan kembali ke keluarganya. Pria sopan itu, dengan sabar menjelaskan dengan sabar posisinya.

 

Pratiwi tanpa respon, pandangan matanya kosong. Kini raga itu bagai tidak lagi memiliki otak. Kosong tanpa satu aksarapun. Wajah putih berseri kini layu tertunduk bak patah tulang leher belakangnya. Hal ini dipahami oleh si Bapak. Dan ternyata, Rehan masih berbaik hati, dua orang perawat disewanya untuk ikut serta hingga bertemu keluarga Pratiwi.

 

“Mbak, ini HPnya dari Bapak Rehan dan ada surat beserta amplop ini. Saya bacakan setelah di dalam mobil ya!”
Sampai dalam mobil, perawat dengan sabar membacakan surat dari Rehan,
“Pratiwi, kamu boleh menangis. Tapi mohon jangan pernah pupus. Aku memang laki-laki biadab dan tak bertanggung jawab. Aku pantasnya mati tergorok gergaji besi.
Pratiwi, anakmu sehat, dia laki-laki mungil dan tampan sepertiku. Tapi, rasanya aku tak pantas untuk dia menyebut aku sebagai ayah. Bahkan tak pantas untukku memberinya nama.
Tenanglah Pratiwi, anakmu baik-baik saja. Suatu saat engkau akan dipertemukan kembali dengannya. Jika engkau bertemu pria tampan dengan satu tanda lahir ‘toh’ (bundaran hitam-pen) di dada kanaan dekat puting bagian dalam, di atasnya ada dua pasang tahi lalat yang timbul, dialah anakmu. Anak kita.”
Ini, Mbak, surat dari suami Mbak.”

 

Perawat dengan sabar menemani Pratiwi dalam mobil cateteran. Menenangkan hingga bertemu keluarganya. Pratiwi masih terdiam, tak mampu merespon.

 

Hanya ciri-ciri fisik yang disebutkan perawat, milik anak yang sama sekali belum pernah dilihatnya. Satu-satunya yang menempel di otak kosong Pratiwi. Selebihnya, hancur. Ke mana aku luapkan semua ini. Ayah, ibu, aku berdosa padamu. Aku ingin kembali ke dalam rahimmu ibu dan tak ingin terlahir ke dunia yang jahat ini. Batin Pratiwi tatkala otaknya kembali normal.

 

***

Fahmi mengendorkan cengkeraman tangannya. Tubuhnya lunglai terbuat merosot ke tepi ranjang. Matanya berkaca-kaca. Berkali istigfar dia ucapkan.

 

“Yaa Allah, ampuni hambaMu yang penuh dosa.”

 

Tamat

Ngawi, 19 September 2020

Please follow and like us:

Tentang Penulis