Oleh: Sunarti

 

Jodoh, rezeki, hidup dan mati, hanya Allah yang Maha Tahu. Manusia, hanya ikhtiar di dalamnya. Selalu berusaha taat, agar mendapat rida dari-Nya.

 

“Kali ini siapa lagi, Um?” tanyaku dengan dada bergemuruh.

 

Aku tak tega berucap sebenarnya. Mataku sudah berkaca. Kuhela napas, istigfar beriringan bersama lepasnya karbondioksida dari rongga dada.

 

Ya Allah, kuatkan aku. Tak tega rasaku untuk mendua hati dengan salihah yang Kau kirim untukku dua puluh lima tahun lalu. Raga yang lemah, tubuh hanya berselimut keriput kulit, membuat siapapun yang memandangnya, tak tega tuk meneteskan air mata.

 

“Kanda. Kanda jangan lagi menangis. Aku hanya ingin Kanda bahagia,” kata wanita itu dengan suara yang tegas.

 

Arum Kinanti. Dia adalah ibu dari kedua anak gadisku. Telah sah menjadi istriku sejak usiaku dua puluhan tahun. Visi misi kami yang sama, menjadikan kelanggengan ikatan noktah kami. Allah sebagai sandaran kami.

 

Namun, Allah punya pilihan lain. Sel-sel ganas menyerang rahimnya sejak empat tahun lalu. Karena kekuatan dan persangkaan baiknya, Arum masih tegar.

 

Sayang, sel ganas itu sangat kejam. Dua bulan terakhir, seolah dia tidak bisa dikendalikan. Sel mengamuk, memenuhi setiap organ vital Arum. Kontan, rumah sakit menjadi tempat singgah kami. Pengobatan alternatif hingga media tak banyak membantu. Kondisi Arum kian layu.

 

“Kanda, kumohon. Sekali lagi saja. Terimalah permintaanku,” katanya lagi.

 

Tangannya yang rapuh, menggenggam erat tangan kananku. Kurasakan panas yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Tubuh lemah itu kian lemah.

 

“Arum, aku tak mau. Kumohon. Aku akan setia denganmu, apapun kondisinya. Jangan paksa aku, kumohon. Aku takut justru ini jalanku untuk tidak bisa konsekuensi terhadap keputusanku sendiri dan menjadi dosa buatku.”

 

Tak kuasa, bulir ini pun jatuh. Meski aku seorang pria, tak pernah tega melihat belahan jiwaku meratap untuk hal yang tidak mungkin. Untuk hal yang hampir seluruh wanita menolaknya. Meski dengan nas-nas yang sudah Allah syariatkan. Di samping itu semua, tak terbersit sedikitpun untuk membagi hati dan raga ini dengan wanita lain.

 

“Kumohon. Aku ingin membuka ladang pahala dengan ini. Kanda, ada teman dari Ustazahku. Beliau seorang single parents. Sudah lebih dari empat tahun menyendiri. Usianya terpaut satu tahun denganku. Seorang yang militan dalam mengemban dakwah. Sekali ini, kumohon, maukah untuk ta’aruf,” kata Arum mengiba.

 

Mata sayunya berkaca. Bulir bening seolah ditahannya. Erat genggaman tangannya kian membuat dadaku sesak. Kucium tangan kurusnya. Arum. Hatiku sakit..

 

“Siapa tahu, ini permohonan terakhirku. Setelah ini, dan Kanda tidak cocok atau pihak sana tidak cocok, aku tidak akan lagi memohon, untukmu berbagi.”

 

Sorot mata sayu itu, menajam. Bola mata hitam tajamnya, beradu tepat dengan mataku. Aku bagai seorang yang baru mengenalnya. Panah mata hitam bening ini, menembus relung hatiku. Yang semula kurasakan sayu, kini bak pisau belati menyayat begitu saja di hatiku.

 

“Arum.”

 

Aku memeluknya. Tubuh ringkihnya berguncang. Basah matanya kurasakan membuai pipiku. Semakin erat aku tenggelam dalam isak tangisku dan tangisnya. Kurasakan tangan yang panas mengangkat wajahku.

 

“Yakinlah, Kanda. Allah akan pilhkan penggantiku yang lebih baik. Atau jikapun aku belum menghadapNya, aku akan memiliki adik madu nan salihah melebihiku. Kita akan bersama menjalani bahtera rumah tangga kita menuju surganya. Insyaallah,” kata Arum dengan penuh semangat. Sebagaimana semangatnya dia menghadapi penyakitnya.

 

Apakah Arum berputus asa akan sakitnya? Hingga mengalihkan perhatiannya pada persoalan diriku? Atau memang dia ingin disakiti, hingga fisiknya lemah dan, Astagfirullah. Batinku tidak pernah berhenti bertanya.

 

Apa penyebab semuanya. Toh aku tidak inginkan itu semua. Bagiku, Arum, Nina dan Fani, cukup sebagai pengisi kapal rumah tanggaku. Dengan risiko apapun. Aku tak yakin, meski di luar sana, banyak wanita yang telah hijrah, salihah, namun apakah bisa menerima dan merelakan dirinya sebagai adik madu? Ah, Astagfirullah.

***

“Bagaimana saksi? Sah?” kata Pak Hakim dengan memegang erat dingin tanganku.

 

Dadaku rasanya lebih sempit. Ruang paruku serasa terdesak. Terdesak oleh rasa bersalah pada dua wanita, yang kini telah sah aku nikahi, sah di mata hukum dan agama.

 

Ya Allah, semoga ini bukan ladang diriku menzalimi mereka semua. Dua istriku, anak-anakku dan anak wanita yang sedetik lalu telah sah kusebut istri. Bismillah.

 

Kuusap muka sembari bersyukur kehadirat-Nya. Sedetik kemudian aku sujud syukur dalam bening air mata yang tak bisa kubendung. Bulir bening itu, satu dua menetes dan segera kutahan.

 

Astagfirullah. Dingin yang di kepala merayap sekujur tubuhku. Tenang, mantap, jiwa dan raga, siap. Bismillah.

 

Tegar kulangkahkan kaki menuju balik tirai di rumah sederhana. Lelaki perjaka merangkul tanganku, mendekatkan diriku pada seorang wanita yang kurang lebih berusia sama dengan Arum.

 

“Buk, ini ayah Irawan. Silahkan ayah, ini ibu aku,” kata perjaka yang merangkulku, mempersilahkanku mendekat pada wanita itu.

 

Wajah sayu setengah menunduk. Sedikit tersenyum. Masyaallah. Astagfirullah. Kenapa aku takut dosa? Astagfirullah. Dia istriku. Segera aku mengusap muka. Kenapa aku? Apa ini cinta darimu, Ya Allah?

 

“Assalamualaikum,” wanita itu berdiri dan berjalan ke arahku. Mengulurkan tangannya.

 

Sartika Diana. Dua atau tiga menit yang lalu baru saja kusebut namanya dengan satu helaan napas dan sah menjadi istri keduaku. Respon kuulurkan tangan menyambutnya. Seketika kuberdoa kebaikan untuknya. Khidmat. Sartika taat.

 

“Mas, mau salat dua rakaat dulu? Tempatnya di samping. Mari, Mas!” katanya.

 

Seolah tersedot magnet melangkahkan kakiku mengikuti Sartika. Wanita berjilbab biru donker dan kerudung senada melangkah pelan menuju pintu samping. Tibalah di sana, kami laksanakan salat sunnah, sebagai syukur kami.

 

Bersambung.

Ngawi, 28 November 2020

Please follow and like us:

Tentang Penulis