Oleh: Sunarti

 

Duka terselubung dalam jiwanya. Belum mampu aku menguak dengan seksama. Bismillah, kesabaran aku fokuskan. Kasih sayang, aku utamakan. Allah sebaik-baik pemberi ujian. Akan ada kebaikan bersamanya. Bersama kesulitan, akan ada kemudahan. Inna ma’al ‘usri yusra.

***

Sartika menutup rapat wajahnya dengan kedua tangannya. Dalam posisi duduk bersimpuh dengan kerudung yang nampak acak-acakan. Tubuhnya terguncang hebat. Tak pernah kutahu Sartika sehisteris ini.

 

“Astaghfirullah. Tika, istigfar!” kataku.

 

Tak kuasa melihatnya dalam kondisi seperti ini, kurengkuh dia dalam posisinya.

 

“Istighfar. Astaghfirullahal’azhiim, astaghfirullahal’azhiim. Ada apa, Dek? Katakan,” kataku tak bisa kutahan.

 

Hal apa yang menyebabkan dia menjadi seperti ini. Sudah hampir satu tahun bersamanya, tak pernah kutemukan isteri kedua-ku sesedih ini.

 

“Mbak Arum, maafkan aku. Aku … Aku …” katanya terputus.

 

Kusibak tangan yang menutupi wajahnya. Nampak muka yang penuh air mata, sayu. Tak kuasa kueratkan pelukanku.

 

“Dek, Sartika, istighfar, istighfar. Sudah, sudah, kita ke dalam ya!”

 

Kata-kataku tak membuatnya diam. Tubuhnya kian berkeringat. Kuelus pelan kepalanya. Kurapalkan doa agar tak berkelanjutan. Ya Allah, apa yang menimpa isteriku?

 

Kuangkat dagunya dari balik dekapan. Kutiup perlahan wajahnya yang kini kelihatan agak pucat. Kuusap pelan air mata di pipinya. Kukecup perlahan keningnya, sembari kumohon ampunanNya.

 

“Ya Allah, astagfirullah. Dek, tenanglah!”

 

Tangisnya mereda. Namun, isaknya masih menggejala. Pelukan masih erat di pinggangku, seolah tak mau melepaskan. Napasnya kadang masih tersengal.

 

“Astagfirullah,” kembali kuucap pelan.

 

Sartika masih belum menunjukkan tanda-tanda menghentikan tangisnya. Kuelus pelan anakku. Anak dengan Sartika, yang kini berusia delapan bulan di dalam kandungan. Meski tak terhitung muda, alhamdulillah, Allah karuniakan rezeki yang tiada tara bagi kami.

 

Sartika menyadari ada yang mengelus perutnya. Dia mendongak ke arahku. Matanya memerah, basah. Seraut wajah yang tak pernah kujumpa. Kesedihan mendalam tersirat dari sorot mata sayu itu.

 

“Istigfar, Dek. Kita masuk, ya! Minum dulu,” ajakku perlahan.

 

Sartika mereaksi apa yang kupinta. Sedikit dia lepaskan pelukannya. Seperti tak kuasa dia bergerak, segera kurengkuh dan kupobong. Membawanya ke dalam kamar.

 

Entahlah, sepertinya ada sesuatu yang terjadi di luar sana, hingga tubuhnya tiba-tiba saja lemas di teras rumah. Dalam gedongan kucium bau tidak sedap. Aku bertahan. Namun, pikir khawatir tak bisa disembunyikan. Jangan-jangan, ada apa-apa dengan kandungannya. Ya Allah, semoga Engkau lindungi anak isteriku, batinku.

 

Kududukkan Sartika di pinggir ranjang. Segera kuambil air di ruang makan. Beruntung, sarapan pagiku belum selesai kuhabiskan. Masih ada teh hangat buatan Sartika, segera kuberikan.

 

“Minum dulu. Bismillah.”

 

Sartika menurut. Tangannya gemetaran menerima gelas. Tak tega, kuhantarkan hingga dia bisa meminumnya.

 

“Sekarang tenang ya! Tarik napas panjang dan istigfar!”

 

Sartika menurut. Tanpa kusadari, tubuhku yang ternyata berbau. Kuciumi kaos di dadaku. Seperti telur busuk.

 

“Astagfirullah. Apa ini?” kataku spontan, tanpa kuingat perasaan Sartika.

 

“Mas, apa aku salah jadi istrimu? Apa aku salah, menerima lamaranmu? Apa aku salah juga, jika Mbak Arum mendahului kita? Tolong jawab aku, Mas!” Suara Sartika terbata.

 

Lelehan air mata kembali mengalir. Tubuhnya terguncang.

 

“Sartika, tenanglah. Ada apa?”

 

Baru aku menyadari, bau tidak enak berasal dari pakaian Sartika. Sebagian kerudung dan jilbabnya, penuh kotoran seperti telur busuk.

 

Ya Allah. Apa yang terjadi? Bukankah Sartika baru keluar rumah setengah jam yang lalu? Apa yang terjadi saat dia berbelanja kebutuhan hari ini? Padahal, satu minggu ini dia tinggal di sini, sudah beberapa kali keluar rumah dan berbelanja dan tak ada sesuatu pun yang terjadi. Batinku terus bertanya. Kupandangi wajah Sartika yang benar-benar tampak letih dan pandangan mata kosong.

 

Naluri melindungi tak bisa kutahan. Kupeluk erat tubuhnya. Khawatir dengan psikologinya. Sekuat apapun pemahaman akan kesabaran, dia tetap wanita yang butuh perlindungan. Dan sepertinya apa yang dialami barusan, bisa saja bukan hal yang mudah baginya.

 

Aku sangat mengerti. Sartika selama menjadi isteri kedua-ku, tak pernah berkeluh kesah tentang kesulitan-kesulitannya. Meski usia sudah empat puluhan, dia sosok yang ceria, supel dan perhatian. Dan satu hal yang tak dipunya oleh isteri pertamaku, Sartika seorang yang humoris.

 

Arum, sosok yang lugas dan tegas, serius, namun juga sosok yang perhatian. Disiplin tinggi namun selalu manja denganku. Unik juga. Latar belakang pendidikan tinggi juga dimiliki. Gelar S2 bahkan dikantongi. Tak tanggung-tanggung, universitas negeri favorit menjadi almamaternya.

 

Entahlah, kini jikapun Arum masih ada, aku juga tidak bisa memilih di antara mereka berdua. Seolah dua orang yang saling mengisi dalam langkah taatku. Jika Arum tak punya, Sartika memilikinya. Jika Sartika tak ada, Arum menggenapkannya.

 

Sartika, isteri pilihan istriku, Arum. Setelah sederet nama-nama sahabatnya diajukan padaku. Dan belum berkenan. Allah bukakan hatiku untuk Sartika. Meski sehari sebelum ijab kabul, aku masih meragukan keputusanku.

 

Kini, Sartika tampak begitu lemah. Kutinggalkan Sartika ke dapur. Kubuatkan teh hangat untuknya. Setelah aku kembali, Sartika masih sesenggukan memeluk bantal. Nambak bercak-bercak basah di seluruh kerudungnya. Bau tak sedap kembali menusuk.

 

Masih berusaha tenang, aku elus punggung yang terguncang itu. Kubujuk satu dua kata, agar mau meneguk teh hangat di tangan kananku. Sartika bergeming. Bantal di pelukannya, dilempar ke arah pintu.

 

“Astaghfirullahal’azhiim. Istigfar. Minum dulu ya!” kataku tenang. Meski dadaku bergemuruh menahan cemas.

 

Sartika menurut. Dia teguk teh hangat dengan ucapan bismillah lirih dari mulutnya. Setengah gelas teh diminumnya.

 

“Mandi dulu, ya! Kemudian kita salat!” Ajakku perlahan.

 

Sartika masih menurut. Tapi wajahnya pandang matanya masih kosong. Perlahan dia membuka kerudung lebarnya. Bau tak sedap itu kian menusuk hidungku.

 

“Astagfirullah. Siapa yang melakukan ini padamu, Dek?”

 

“A … Aku salah, merebutmu dari Mbak Arum ya, Mas? A … aku sebagai isteri sahmu, apa aku wanita murahan?” jawabannya terbata.

 

Betapa terkejutnya aku. Baru menyadari bau tak sedap itu dari dalam kerudung. Mungkin karena terlalu panik akan kondisi Sartika, saat menggendongnya saja, aku tidak peka bau dari mana.

 

Rambut Sartika yang biasa digelung saat berkerudung, kini terurai acak-acakan. Hampir seluruh bagian terdapat cairan berbau seperti telur busuk. Sepertinya, ada yang sengaja menuang dan merayakannya. Tapi siapa?

 

Bersambung.

Ngawi, 4 Desember 2020

Please follow and like us:

Tentang Penulis