Oleh: Sunarti

 

 

“A … Aku salah, merebutmu dari Mbak Arum ya Mas? A … aku sebagai istri sahmu, apa aku wanita murahan?” dengan terbata ia bertanya.

 

Betapa terkejutnya aku. Baru menyadari bau tak sedap itu dari dalam kerudung. Mungkin karena terlalu panik akan kondisi Sartika, saat menggendongnya saja, aku tidak peka bau dari mana.

 

Rambut Sartika yang biasa digelung saat berkerudung, kini terurai acak-acakan. Hampir seluruh bagian terdapat cairan berbau seperti telur busuk. Sepertinya, ada yang sengaja menuang dan meratakannya. Tapi siapa?

 

Hampir satu jam, menenangkan Sartika. Aku sangat panik dengan kondisinya. Kubujuk agar membersihkan diri. Namun, masih saja dia sesenggukan. Terus kulantunkan istigfar di telinganya. Sesekali, kuambil teh hangat yang masih tersisa.

 

“Mandi dulu, ya! Kasian Dedek capek nanti!” kataku sambil mengelus perutnya.

 

Sartika memandangku pasrah. Aku jawab anggukan. Segera kupapah tubuh lemahnya ke kamar mandi yang ada di dalam kamar ini.

 

Berhasil membawanya membersihkan diri dan salat dua rakaat. Tujuan utamaku, Sartika tenang. Wajah sayu Sartika memelas. Seolah sesuatu tersimpan. Segera dia mendekatiku dan merebahkan kepalanya di pangkuanku.

 

“Astaghfirullahal’azhiim,” katanya lirih.

 

Mencoba kembali memenangkan dengan mengelus dahi hingga kepalanya yang masih bermukena. Tak kutanya apapun padanya. Aku tahu, tidak mungkin kondisi seperti ini, dia membuka cerita.

 

Biarkan saja sampai nanti dia lega dan bercerita. Meski baru satu tahun aku menjadi suaminya aku sudah hapal watak dan kebiasaannya. Ya, walaupun waktuku tak banyak bersamanya, karena harus berbagi dengan Arum yang hampir tiga bulan berada di rumah sakit.

 

Kulantunkan ayat-ayat Alquran dari surat-surat pendek. Perlahan napas Sartika teratur. Semakin teratur dan akhirnya tertidur.

 

“Kumohon ampun padaMu Yaa Allah Pemilik Hati. Luluhkan kemarahan Sartika. Berikan ketenangan dan kesabaran. Aamiin.”

 

Hampir satu jam, Sartika tertidur di pangkuanku lantunan ayat-ayat Alquran terus lirih kusuarakan. Kubiarkan kesemutan hinggap di kedua kakiku. Aku tak tega. Aku merasakan, rasa sakit hatinya, pasti lebih parah.

 

“Alhamdulillah.” Sartika membuka mata perlahan.

 

“Yaa Allah. Aku tertidur, Mas?” Sartika terbangun.

 

“Iya. Tidak apa-apa. Ke kamar ya, biar tidurnya nyaman.”

 

“Tidak usah, Mas. Aku sudah enakan sekarang. Aku mau lanjutin cucian tadi pagi. Aku, aku ceritakan ke Mas, ehmmm, nanti ya, Mas. Soal kejadian pagi ini,” kata Sartika terbata.

 

“Tidak usah nyuci dulu, Dek. Biar aku yang melanjutkan nanti. Kita makan dulu. Sepertinya kamu butuh energi agar tidak lemas. Dan Dedek juga butuh itu.”

 

“Baiklah, Mas. Tapi aku belum masak lauk untuk siang ini.”

 

“Aku bikinkan nasi goreng, mau?”

 

“Mau, dong.”

 

“Alhamdulillah,” jawabku enteng. Seolah beban berat di dadaku pudar, melihat binar mata Sartika. Meski usianya tak lagi muda, binar mata miliknya, telah menyedot rasaku ke dalamnya. Yaa Allah, inikah cinta karena-Mu?

 

Lega rasanya hati ini. Dan senyum Sartika bagai mengguyur bara di kepalaku. Binar matanya menghujam dadaku. Ini yang selalu membuatku rindu. Alhamdulillah. Telah kembali binar indah itu. Aku tak ingin dia terlarut dalam kesedihan.

 

Kami menuju dapur berdua. Bercengkrama, sembari menyiapkan nasi goreng. Ya, walaupun Sartika hanya berbicara saat aku bertanya. Selebihnya, hanya anggukan atau gelengan saja. Meski, senyum telah hinggap beberapa kali di bibir mungilnya, rupanya dia belum leluasa untuk kembali ceria. Begitu menyakitkan kah, Dek? Batinku.

 

Selepas dari ruang dapur, kami menuju ruang keluarga.

 

“Mas, aku mau cerita. Tapi kuharap, Mas tidak suudzon dulu, ya!”

 

“Baiklah. Duduk sini! Aku pijitin kakinya. Pasti lelah kan?”

 

Sartika tersenyum dan langkahnya kian mendekat. Dia bersandar di dinding dengan menaruh bantal di punggungnya. Agaknya dia lebih tenang. Tapi masih kulihat wajah sembabnya dan satu pandangannya yang dominan kali ini. Ah, wanita, bagaimana bisa, sebentar ceria dan sebentar sendu?

 

Perlahan Sartika menarik napas. Dan mulai bercerita. Perlahan kupijit kakinya yang sedikit bengkak di bagian bawah. Hatiku mulai gusar. Apa yang dia alami sepagi ini?

 

“Mas, tadi pagi aku dipanggil sama Maya untuk mampir ke rumahnya. Aku menurut saja, karena dia setengahnya memaksa. Awalnya sih bulek Mas, yang narik-narik mampir. Yah, akhirnya aku ke rumah. Maaf ya, Mas, belum pamit kalau mampir tadi,” kata Sartika dengan suara sedikit tertahan.

 

“Hem, iya. Kamu belanjanya juga di depan rumah Bulek, juga kan?”

 

“Iya. Tadi itu, Bulek sama Maya mempersilahkan aku duduk. Memberi minuman dan cemilan. Aku bersyukur, saudara Mbak Arum, baik denganku. Aku sempat berpikir, jika omongan orang-orang di sini tidak benar. Mereka bilang, bulek dan Maya sering membicarakan aku merebut Mas dari Mbak Arum. Astagfirullah,” katanya terhenti.

 

“Nyatanya, tidak benar. Buktinya mereka baik. Tapi ….”

 

Aku menghentikan pijitanku. Segera aku duduk di sebelah kanannya. Kugenggam erat tangan kanannya. Aku merasa detik-detik yang membuatnya menangis akan sampai.

 

“Mas … Hiks.”

Benar juga kan, dia menangis lagi.

 

“Dek, tenanglah, jika belum bisa cerita hari ini, besok-besok tidak mengapa,” jawabku menenangkannya.

 

“Mas, mereka membiarkanku minum suguhannya dan mereka pergi meninggalkan aku di ruang tamu. Tapi, hiks … Tak berselang lama, mereka membawa telur-telur busuk ke arahku. Aku tak mengira sama sekali. Bulek yang semula ramah, tiba-tiba berkata kasar. Memarahiku.”

 

Sartika menutup muka dengan kedua telapak tangannya. Sesenggukan.

 

“Mereka berdua mengata-ngatai aku. Aku yang sok suci dan kata-kata buruk lainnya. Sekonyong-konyong, Maya memegang tanganku dari belakang kursi. Dan Bulek, membuka kerudungku. Aku menjerit. Tapi seolah tak keluar suara. Bulek yang sangat marah, memecahkan telur-telur itu di kepalaku. Mas … Aku …”

 

Tak kuasa aku mendengarnya lagi. Kurangkul tubuhnya. Kutenangkan dengan bacaan istigfar berkali-kali. Sartika menangis, namun tak sehisteris tadi pagi.

 

“Setelahnya, Mas, mereka bilang, kalau Maya yang seharusnya di posisiku. Maya yang seharusnya menggantikan Mbak Arum. Mereka mengancam ku, jika cerita soal keinginan mereka ini. Tapi bagaimana, bagaimana aku ….”

 

“Astaghfirullahal’azhiim. Tenang, Dek. Tenang. Sudah aku mengerti kenapa mereka sangat marah kepadamu,” kataku lirih.

 

Tak kuasa menahan pedih hati ini, luluh juga pertahanan tegarku. Sakit. Hatiku turut sakit. Leleh bulir di mataku.

 

“Tenang Sartika. Aku selalu bersamamu. Allah bersama kita. Kita tidak melanggar hukumNya.”

 

Maya, ternyata engkau masih tidak menerima pilihanku pada Arum. Masihkah engkau menyimpan dendam padaku, tatkala ta’aruf puluhan tahun silam?
Maya, kenapa engkau luapkan pada Sartika yang tidak tau apa-apa soal ta’aruf kita dan Arum?

 

Bersambung
Ngawi, 16 Desember 2020.

Please follow and like us:

Tentang Penulis