Demokrasi Kontroversi, Adakah Solusi?

Oleh: Ita Husnawati
(Pemerhati Kebijkan Publik)

 

 

Lensamedia-com– Jejumlah produk legislasi berupa undang-undang lahir di tahun pertama pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Kompas.com mencatat, setidaknya ada tiga undang-undang kontroversial yang disetujui pemerintah dan DPR meski menimbulkan polemik, yaitu revisi UU Mineral dan Batu Bara, revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK), dan omnibus law UU Cipta Kerja. Peneliti dari Auriga Nusantara Iqbal Damanik menyatakan, pengesahan revisi UU Minerba menegaskan keberpihakan pemerintah terhadap korporasi tambang batu bara. UU Cipta Kerja merupakan rancangan undang-undang usulan pemerintah. DPR pun menyetujui pembahasannya meski kritik publik terhadap UU tersebut sudah terdengar sejak masih menjadi wacana. (kompas.com, 20/10/2020).

 

Secara substantif UU Cipta Kerja bertentangan dengan hak tenaga kerja Indonesia, yang sudah diatur dalam UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Tidak berhenti disitu saja, pengesahan UU yang menimbulkan kontroversi yang memuncak dari masyarakat Indonesia, justru tidak dipedulikan oleh lembaga legislatif sebagai pihak perancang UU ini. (covesia.com, 24/10/2020)

 

Dari fakta di atas, tampak bahwa Undang-undang yang dihasilkan dari sistem demokrasi banyak menuai kontroversi. Kebijakan ini tidak cukup dievaluasi mekanisme lahirnya saja, namun harus dikoreksi secara mendasar dari sumber lahirnya regulasi tersebut, yakni sistem demokrasi.

 

Jika kita kaji makna demokrasi secara teori, disebutkan bahwa demokrasi artinya “Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam sistem demokrasi, peraturan dan Undang-undang disusun oleh rakyat melalui “wakilnya” dengan bermusyawarah. Sepintas terlihat pro rakyat. Namun faktanya suara rakyat tak terwakili oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), walaupun mereka telah dipilih oleh rakyat dan telah digaji pula oleh negara yang bisa jadi sumber gajinya dari pajak rakyat. Ketika rakyat sebagai pemilik kedaulatan menurut sistem ini protes, ternyata tidak diperhatikan, tetap saja undang-undangnya disahkan. Inikah makna “Demokrasi”, sudah beberapa kali rakyat dikhianati, sehingga muncul slogan, dari 1%, oleh 1%, untuk 1%. Mungkin itu realitas saat ini.

 

Masihkah kita bertahan dengan sistem demokrasi yang justru memihak kepada korporasi yang akan mengeksploitasi kekayaan alam negeri ini dengan jalan investasi. Selain itu dengan sistem ini, manusia bebas menentukan aturan sendiri yang memberikan peluang lahirnya aturan-aturan yang bertentangan dengan aturan Allah, karena yang diutamakan adalah suara terbanyak. Padahal yang banyak belum tentu yang benar.

 

Sepanjang pemberlakuan sistem demokrasi, akan selalu muncul kontroversi baik pada aspek substansi yang tdk mewujudkan kemaslahatan publik maupun pada aspek prosedur yang mengabaikan aspirasi rakyat. Sistem demokrasi sekuler jelas telah memisahkan agama dari peraturan negara, artinya dalam bernegara tidak mengacu kepada aturan Sang Khaliq, namun diserahkan kepada manusia. Padahal manusia sebagai makhluk memiliki keterbatasan dalam mengatur kehidupan ini, walaupun mereka cerdas, tentu tidak akan sanggup membuat aturan sendiri.

 

Sebenarnya manusia sudah diberi kemudahan oleh Allah dengan petunjuk dan aturan-Nya tanpa harus mengeluarkan energi, biaya dan pemikiran yang ekstra. Manusia di bumi Allah ini hanya diperintah untuk menerapkan aturan terbaik yang Allah turunkan tersebut dengan keimanan. Adapun kemaslahatan, in syaa Allah akan diperoleh dengan ketundukan kepada Al-Khaliq Al-Mudabbir (Pencipta Yang Maha Pengatur). Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya:

 

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS: Al-A’raf [7]: 96).

 

Kita tahu definisi taqwa adalah Imtisalu al awamiri wa ijtinabu an nawahihi (Mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangannya). Untuk mewujudkan penduduk negeri yang beriman dan bertaqwa, tentu akan lebih mudah ketika di dalam negeri tersebut diterapkan hukum Allah yang berdasarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Keistiqamahannya pun akan lebih terjaga karena negara sebagai pemegang kekuasaan yang diberi amanah menerapkan hukum Allah dan sekaligus mendakwahkannya ke seluruh dunia. Negara pun memiliki aturan sanksi yang tepat dan tegas bagi pelanggar hukum syara’. Negara seperti ini adalah negara khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah yang dibaiat untuk menerapkan Islam secara kaffah.

 

Aturan Islam memiliki tujuan yang agung yaitu menjaga hal-hal urgent dalam kehidupan ini, memelihara aqidah, harta, jiwa, akal, kehormatan, nasab, keamanan dan keutuhan negara. Sistem Islam/khilafah akan melahirkan UU yang selaras dengan fitrah manusia dan memenuhi kemaslahatan seluruh pihak karena bersumber dari Allah yang Maha Tahu dan Maha Adil. Jadi, saatnya Islam diterapkan sebagai solusi. Wallahu a’lam bishowab. [RA/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis