Bela Khilafah, Apa Salahnya?
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir mensinyalir bahwa masih ada kelompok Islam yang membela sistem khilafah. Padahal, menurut dia, para pendiri negeri ini, termasuk tokoh Muhammadiyah telah bersepakat bahwa Indonesia adalah negara Pancasila. Beliau juga menyatakan bahwa sistem Khilafah tertolak di Indonesia. (Republika, 17/10/2020)
Istilah Khilafah kian populer merasuki seantero negeri. Khilafah sendiri merupakan ajaran Islam yang mulia. Sayangnya, hingga kini Khilafah dianggap terlarang dan ditolak untuk solusi permasalahan negeri. Bahkan, Khilafah dimonsterisasi seakan mengancam negeri dan memantik perpecahan.
Padahal Khilafah adalah mahkota kewajiban yang urgensitasnya telah ditetapkan dalam Alquran, Sunnah dan Ijmak Sahabat serta para ulama Aswaja juga telah menyepakati bahwa Khilafah itu fardhu. Selain itu, Khilafah juga merupakan Syiar Islam paling agung.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Ulama kontemporer Syaikh Prof. Dr. Musththafa Dib al-Bugha:
” Mengangkat seorang Imam (sebutan bagi Khalifah) dengan format yang telah anda lihat di atas, juga demi merealisasikan berbagai kepentingan yang telah kami bicarakan sebelumnya, hukumnya adalah wajib. (Kewajiban ini) melekat di leher kaum Muslim dimanapun mereka berada. Jika mereka tidak bangkit untuk itu, demi merealisasikan perintah Allah Azza wa Jalla, maka mereka semuanya akan tertimpa dosa besar. Karena ia -selain terkait berbagai urusan agama, sosial dan politik yang bersifat darurat- merupakan sebuah syiar paling agung di antara syiar-syiar agama Islam yang harus tampak dan hidup di negeri-negeri kaum Muslim.” (Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i)
Oleh karena itu, bukanlah hal tabu dan bukan pula kejahatan menyerukan Khilafah. Justru berbahaya dan berdosa jika mengambil sikap terus terang menyatakan penolakan terhadap Khilafah, sebab berarti mengingkari kewajibannya. Hal ini sama artinya dengan menolak syariat.
Na’udzubillahimindzalik.
Deny Setyoko Wati,
Yogyakarta
[hw/LM]