Good Looking dan Tuntutan Jaman

Oleh: Kunthi Mandasari

(Pegiat Literasi) 

 

Lensa Media News – Ada pepatah Jawa yang mengatakan, “Ajining diri gumantung soko lathi, ajining rogo gumantung soko busono.” Artinya kehormatan diri adalah dari lisan, kehormatan raga adalah dari pakaian. Lisan yang selalu bertutur kata baik tentu akan lebih dihormati sebagaimana raga yang selalu disegani karena pakaiannya yang baik.

Good looking sebagai bentuk apresiasi diri kini justru distigma negatif. Menurut pembeberan Menag, masuknya radikalisme ke masjid melalui anak good looking. Salah satu caranya dengan menempatkan orang yang memiliki paham radikal dengan kemampuan keagamaan dan penampilan yang tampak mumpuni.

“Caranya masuk mereka gampang: pertama dikirimkan seorang anak yang good looking, penguasaan Bahasa Arabnya bagus, hafiz (hafal Alquran), mereka mulai masuk,” kata Fachrul dalam webinar bertajuk ‘Strategi Menangkal Radikalisme Pada Aparatur Sipil Negara’, di kanal Youtube Kemenpan RB (cnnindonesia, 03/09/2020).

Lantas kenapa good looking yang dipermasalahkan hanya yang identik dengan masjid dan mumpuni dalam beragama? Sedangkan mereka yang good looking wira-wiri di media bebas dari prasangka. Padahal tontonan yang kerap disajikan banyak memunculkan kemudharatan. Mengajarkan kebebasan, membuka aurat, pendangkalan akidah melalui klenik yang dikemas menarik, reality show unfaedah, ghibah berjamaah dan masih banyak lainnya.

Padahal salah satu patokan agar bisa diterima kerja mensyaratkan penampilan yang good looking. Tentunya pembiaran ini tidak lepas dari motif materi yang ditawarkan. Begitulah kapitalisme bekerja, hanya memberi ruang bagi yang mendatangkan keuntungan. Lantas kenapa good looking yang mendekat ke masjid saja yang dituding radikal? Sebenarnya mana yang lebih berbahaya?

Bagi para kapitalis sekuler, good looking ala Islam lebih berbahaya. Karena bisa menyadarkan umat dari kebusukan sistem kapitalis sekuler yang telah sukses menyengsarakan umat manusia. Dengan kata lain, orang-orang akan berbondong-bondong memilih Islam sebagai way of life. Artinya, para kapital harus rela kehilangan tambang kekayaannya.

Padahal berpenampilan menarik merupakan bagian ajaran Islam. Islam sangat menjaga adab dan sopan santun dalam berpenampilan dan berpakaian. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki ketentuan yang sama, yaitu menutup aurat yang telah diatur syariat. Seperti pada muslimah diperintahkan menggunakan jilbab dan khimar. Selain cara berpakaian, Islam juga mengatur sikap kaum Muslim, baik dalam bertutur kata maupun perbuatan. Sehingga tak hanya menjual penampilan saja tetapi juga akhlakul karimah. Berpenampilan menarik menjadi keharusan bagi setiap kaum Muslim.

Lain halnya dengan konsep sekuler kapitalis. Ajang berpenampilan menarik merupakan salah satu bentuk kebebasan. Berpakaian apapun akan sah-sah saja. Sekalipun harus setengah telanjang. Hal ini pun senantiasa diangkat ke media sebagai bentuk tren mode yang harus diikuti oleh manusia. Dengan mematok harga pakaian yang tidak masuk akal. Meskipun demikian, bagi masyarakat urban yang terinfeksi virus hedonisme, mode adalah sebuah keharusan.

Alhasil jika ingin tampak good looking ala kapitalis sekuler harus rela merogoh kocek ekstra dalam. Dan di balik itu semua ada bisnis mode yang memanfaatkan untuk meraup keuntungan. Sayangnya hal ini tidak pernah dipermasalahkan. Justru keberadaannya senantiasa didukung untuk dikembangkan.

Stigma negatif terhadap anak good looking yang dekat dengan masjid tak lepas dari Islamophobia. Sesuatu yang tak patut dilakukan oleh seorang Muslim. Seorang Muslim sudah seharusnya bangga dengan keislamannya. Cara mewujudkannya dengan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. Tanpa memikirkan label yang disematkan oleh para pembeci syariat Islam. Cukuplah keridaan Allah Swt. menjadi tujuan.

Wallahu a’lam bishshawab.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis