Resesi di Depan Mata, Bagaimana Solusinya?

Oleh: Kunthi Mandasari
(Pegiat Literasi)

 

Lensa Media News – Dilansir dari Kompas.com, 6 Agustus 2020, Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2020 sebesar minus 5,32 persen dibandingkan triwulan II-2019, atau year on year (yoy). Dibandingkan dengan triwulan I-2020, atau quarter to quarter (qtq), angkanya minus 4,19 persen.

Dengan kontraksi ekonomi sebesar itu, Drajad H. Wibowo Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menyarankan untuk kesekian kalinya, agar mengatasi pandemi Covid-19 ini terlebih dulu. Minimal, agar transmisi penyakitnya bisa dikendalikan selama vaksin dan obat belum ditemukan.

Sektor konsumsi menjadi penyumbang 55-60 persen dari PDB. Pada kuartal II-2020 angkanya 57,9 persen. Ternyata hampir semua jenis konsumsi tumbuh minus. Efeknya, semua penjualan eceran terkontraksi. Mulai dari makanan, pakaian, hingga budaya dan rekreasi. Bahkan, penjualan rokok yang biasanya tahan banting pun anjlok. Penjualan wholesale untuk mobil dan motor terkontraksi. Demikian juga dengan transaksi kartu kredit, debit, dan uang elektronik.

Pemerintah menyebut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai pemicu pertumbuhan serba minus ini. Bahkan, Presiden sempat berkata, jika lockdown dilakukan, mungkin pertumbuhan bisa minus 17 persen. Benarkah demikian?

Menurunnya angka konsumsi tak lepas dari semakin rendahnya pendapatan. Efek domino virus Corona menyebabkan sejumlah aktivitas ekonomi terhenti. Akibatnya berdampak negatif terhadap dunia usaha. Hal ini terlihat dari banyaknya perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pemotongan gaji. Penurunan pendapatan masyarakat inilah yang memotong daya beli dan konsumsi.

Meskipun pemerintah telah mengucurkan dana untuk bantuan sosial (bansos), hal ini tidak akan mampu menggantikan pendapatan yang hilang. Bansos hanya berfungsi untuk menekan turunnya angka konsumsi agar tidak semakin anjlok. Namun, selama masih ada wabah Covid-19, maka tingkat konsumsi akan sulit untuk tumbuh di tahun ini. Karena kebutuhan konsumsi rumah tangga hanya akan berfokus pada kebutuhan pokok saja. Sedangkan untuk konsumsi pada barang-barang sekunder, apalagi barang mewah akan dikesampingkan. Maka, langkah bijak yang perlu dilakukan adalah mengendalikan transmisi Covid-19.

Memang benar penerapan PSBB memiliki dampak pembatasan pergerakan orang, sehingga otomatis konsumsi dan investasi terganggu. Namun, selama ini meskipun PSBB diterapkan, pergerakan orang tetaplah tinggi. Karena penerapan PSBB yang terkesan masih longgar. Bahkan meski kasus Covid-19 masih terus menanjak, PSBB tetap dipaksakan dibuka pada awal Juni 2020 lalu. Buruknya penanganan pandemi inilah yang menyebabkan rendahnya kepercayaan baik dari konsumen maupun investor. Lantas, mengapa mengambinghitamkan PSBB sebagai pemicu pertumbuhan serba minus ini? Jika berkaca, PSBB ini hasil kebijakan siapa?

Padahal masalah utama penyebab resesi bukan hanya akibat PSBB saja. Tetapi pada penerapan sistem kapitalisme. Bukan hanya karena sistem ini menitik beratkan pada sisi ekonomi dan mengabaikan keselamatan jiwa. Tetapi penerapan sistem kapitalistik juga mempengaruhi para penganutnya. Hal inilah yang menyebabkan lahirnya kebijakan yang merugikan. Karena menimbang segala aspeknya hanya berdasarkan untung rugi semata.

Hal ini tentu berbanding terbalik dengan Islam. Dimana keberadaan wabah mendapat perhatian yang serius. Karena hal ini menyangkut masalah nyawa yang menjadi hak dasar setiap warga. Islam sebagai rahmat bagi semesta alam hadir untuk menjaga agama, akal, jiwa dan harta. Wujud penjagaan nyawa kala pandemi wabah ialah dengan melakukan lockdown.

Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” ( HR Bukhari).

Selain melakukan lockdown pada wilayah yang terjangkit, tindakan selanjutnya ialah memisahkan antara orang yang sakit dan orang yang sehat. Dikutip dalam buku berjudul ‘Rahasia Sehat Ala Rasulullah SAW: Belajar Hidup Melalui hadist-hadist Nabi’ oleh Nabil Thawil, di zaman Rasulullah saw jikalau ada sebuah daerah atau komunitas terjangkit penyakit Tha’un, Rasulullah saw memerintahkan untuk mengisolasi atau mengkarantina para penderitanya di tempat isolasi khusus, jauh dari pemukiman penduduk.

Rasulullah saw bersabda:
Janganlah pemilik unta membawakan untanya yang sakit kepada pemilik unta yang sehat.” ( HR. Bukhari dan Muslim)

Pemberlakuan lockdown pada wilayah terdampak tak hanya mencegah terjadinya penularan. Namun juga, memungkinkan wilayah lain berjalan dengan normal. Sehingga perekonomian tetap bisa berjalan dan resesi bisa dihindari. Hal ini tentu membutuhkan kebijakan yang tepat. Kebijakan yang tepat hanya bisa dihasilkan oleh sistem yang tepat pula, yaitu sistem yang datangnya dari Sang Pencipta. Dan wujudnya hanya bisa tampak ketika Islam diterapkan secara sempurna (kâffah) dalam bingkai negara.

Wallahu a’lam bishshawab.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis