Era Terpasungnya Kepakaran
Era digital meniscayakan setiap orang sangat mudah mengakses informasi. Namun, sangat disayangkan saat kemudahan tersebut tidak diiringi dengan kemampuan literasi yang memadai. Akhirnya masyarakat terjerumus pada informasi hoaks hingga konspirasi yang dapat menciptakan bahaya global.
Bagaimana tidak, informasi dituntut cepat, padahal untuk menyajikan informasi yang terverifikasi butuh waktu. Sehingga ketika para pakar tengah meneliti, orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan membuat konten bombastis di media sosial agar menjadi viral. Ketika mereka viral jelas mereka akan terkenal lalu rupiah akan mengalir.
Pun dengan pemerintah yang termakan berita hoaks. Masih melekat diingatan pada tanggal 22 Maret Indonesia mengimpor obat yang diklaim bisa menyembuhkan corona sebanyak 2 juta butir dari Cina dan India. Padahal obat ini tidak terbukti secara ilmiah bisa menyembuhkan corona.
Belum lagi kalung Eukaliptus yang diproduksi masal. Jurnal Ilmiahnya saja tidak ditemukan. Pendapat para pakar hanya cuitan di siang bolong.
Hal ini jelas menunjukkan bahwa pakar tidak lagi berada di puncak piramida keahlian, akan tetapi sama dengan orang awam yang bahkan tidak memiliki keahlian.
Jika kita telisik ini bukan hanya permasalahan individu. Namun, ini tersistematis karena terjadi di semua lini. Sebagaimana yang kita ketahui, negara kita menganut sistem Demokrasi Kapitalisme dimana asas dari ideologi ini adalah materi. Maka jelas hal-hal yang mereka lakukan semata-mata mencari pundi-pundi rupiah belaka, tanpa memperhitungkan nyawa jutaan rakyat. Seorang pakar akan kalah dengan orang yang berduit tebal (para kapitalis).
Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Posisi pakar sangatlah dimuliakan. Bahkan jika mereka menelurkan sebuah karya yang kemudian mereka bukukan, maka imbalan bagi mereka adalah emas seberat buku tersebut. Selain itu Islam mendorong umatnya untuk menjadi pakar, karena, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad).
Shita Ummu Bisyarah
[faz/LM]